Daily News|Jakarta – Pemerintah telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman implementasi atas Pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penandatanganan SKB ini melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Pedoman implementasi ini akan menjadi acuan bagi aparat penegak hukum di lingkungan Kominfo, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas.
Beberapa Pasal yang termuat dalam pedoman implementasi UU ITE adalah Pasal 27, 28, 29 dan 36. Banyak yang menilai Pasal-pasal tersebut multitafsir, menimbulkan kriminalisasi, termasuk diskriminasi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman, menilai SKB pedoman implementasi bukan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di dalam UU ITE.
“Saya sudah membaca substansinya dan pertama yang ingin saya komentari bahwa ini merupakan pengakuan oleh institusi pemerintah yang memperlihatkan ada masalah sebenarnya dengan substansi UU ITE. Dan, seharusnya kalau ada masalah dengan substansi UU ITE, solusinya memang revisi bukan sekadar panduan,” ujar Herlambang kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Jumat (25/6).
Ia berpendapat masalah mendasar yang terjadi adalah UU ITE terlalu menyederhanakan perihal Pasal multitafsir. Padahal, kata dia, Pasalnya sendiri yang bermasalah. Di samping itu, ia berujar pemerintah tak cukup kuat memiliki komitmen politik dalam melindungi kebebasan berekspresi warga negaranya.
“Itu masalah dasarnya,” imbuhnya.
Herlambang menilai substansi yang termuat dalam pedoman implementasi UU ITE tidak sejalan dengan standar hukum hak asasi manusia (HAM). Kata dia, panduan tersebut sebatas nalar hukum pidana bukan nalar hukum HAM.
Ia menambahkan, SKB dimaksud tetap memberikan peluang tafsir yang kemungkinan dapat disalahgunakan.
“Misalnya instrumen hukum dalam pembatasan, mengapa tidak merujuk kepada doktrin hukum kebebasan ekspresi misalnya atau hukum HAM sebagaimana Pasal 19 ayat 3International Covenant Civil and Political Rights,dan itu seharusnya merujuk pada UU 12 Tahun 2005,” kata dia.
“Jadi, menurut hemat saya panduan ini sangat useless,” sambungnya.
Berdasarkan sistem hukum ketatanegaraan, Herlambang menilai kehadiran SKB untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam UU tidak tepat. Ia berujar jika UU bermasalah, produk hukum yang seharusnya dikeluarkan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Hal itu sebagaimana ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Nah, kenapa enggak dipakai instrumen itu.Komitmen politik di dalam penegakan hukum dan juga dalam pembentukan hukum ini sekarang kita patut pertanyakan. Baik di dalam jajaran Kominfo maupun presiden sendiri,” ucap dia.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, juga menilai masih ada permasalahan dalam UU ITE yang tidak dapat diselesaikan dengan pedoman.
“Yang menjadi pokok permasalahannya adalah ketidakjelasan atau kekaburan norma hukum yang tercantum dari Pasal-pasal yang selama ini lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara,” kata Erasmus melalui pesan tertulis.
Erasmus menambahkan kehadiran pedoman tersebut memperlihatkan bahwa UU ITE penuh masalah. Adapun solusi menyelesaikan permasalahan itu, menurut dia, adalah dengan revisi.
“Pemerintah harus tetap berkomitmen untuk merevisi UU ITE,” tandasnya.
Di samping itu, ICJR juga mencatat masih terdapat persoalan terhadap pedoman implementasi UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang Kesusilaan. Menurut dia, pedoman implementasi Pasal tersebut masih membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
“Pedoman masih mengatur korespondensi orang ke orang dapat dijerat, tanpa secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi/distribusi/membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum,” ucap dia.
Senada, jurnalis sekaligus aktivis Dandhy Dwi Laksono mengatakan SKB bukan menjadi pilihan tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam UU ITE.
Dandhy merupakan korban UU ITE. Ia kini berstatus tersangka dan dijerat dengan Pasal28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU ITE tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
“UU itu ya harus dijelaskan oleh UU-nya sendiri. Itulah gunanya ada penjelasan dalam UU. Kalau UU yang keputusan DPR dijelaskan oleh surat pejabat, tata hukum di negara kita sudah kacau. Artinya, ganti pejabat bisa ganti tafsir dan penjelasan,” ujar Dandhy kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis.
Ia menilai revisi menjadi kunci menyelesaikan permasalahan yang ada.
“Tak ada cara lain, UU ITE harus direvisi dan dikembalikan ke niat awalnya untuk melindungi warga negara dari serangan dan penipuan di dunia digital. Bukan untuk jadi tunggangan para pejabat, politikus, polisi, dan orang per orang untuk memenjarakan orang lain yang tak disukainya atas hal-hal yang subjektif dan tak jelas ukurannya,” kata dia. (DJP)
Discussion about this post