Daily News|Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP membuka peluang melakukan survei khusus menyusul adanya usulan agar Megawati Soekarnoputri kembali maju sebagai calon presiden (capres).
Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga mengatakan PDIP bisa menggelar survei secara khusus untuk menangkap aspirasi masyarakat soal peluang Mega kembali maju. Ia menyebut survei bisa dilakukan dengan 50 ribu responden.
“Bisa nanti survei secara khusus, kenapa tidak bisa? Yang lebih luas surveinya, kalau survei selama ini katakan 1.200, 2.200 responden, kenapa tidak nanti 50 ribu responden di seluruh Indonesia,” kata Eriko di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Minggu (8/1).
Eriko menilai usulan mengusung Megawati sebagai capres pada Pilpres 2024 cukup masuk akal. Menurutnya, ada beberapa kepala negara lain yang terpilih meski telah memasuki usia senja.
Beberapa nama itu seperti, Lula da Silva di Brazil, Anwar Ibrahim di Malaysia, hingga Xi Jinping di Tiongkok.
“Ini pendapat mereka. Kalau Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) nggak mungkin, kenapa nggak Bu Mega. Ini usulan yang masuk akal,” katanya.
Eriko menyatakan PDIP akan menyampaikan usulan tersebut kepada Mega. Sebab, kewenangan soal pencalonan presiden di PDIP merupakan hak prerogatif Mega selaku ketua umum.
“Apakah beliau sendiri, apakah juga yang lain itu hak sepenuhnya hak dari Ketua Umum Megawati. Itu yang saya sampaikan kemarin kepada mereka,” ucap dia.
Usulan Mega kembali maju sebagai capres sebelumnya mengemuka dalam diskusi pada Sabtu (7/1). Co-founder Total Politik Budi Adiputro bertanya kepada Eriko apakah usulannya itu masuk akal atau tidak.
“Menurut kami masuk akal. Sangat masuk akal, karena tidak ada yang salah,” kata Eriko dalam diskusi politik yang digelar di Kopi Politik, Jakarta Selatan.
Megawati sempat menjabat sebagai Presiden ke-5 RI pada periode 2001-2004 atau satu periode. Artinya, Megawati masih memiliki hak politik untuk maju lagi sebagai calon presiden karena konstitusi RI mengatur presiden maksimal dua periode.
Skandal permainan survey untuk menggenjot calon tertentu dan menghempaskan saingan sudah biasa ditemukan di Indonesia.
Sebagai contoh, Anies memang berhasil memikat hati netizen. Hal ini dibuktikan dengan akun yang terlibat mencapai 91.343 pada bulan September. Puan Maharani menyusul di posisi kedua (67.477), disusul Ganjar Pranowo (60.891) dan Prabowo Subianto (48.184).
Anies menjadi kandidat paling populer di dunia maya. Hasil pemetaan percakapan publik di media sosial dan pemberitaan di media online selama September 2022, Anies berhasil mendapatkan 478.942 mention. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berada di posisi kedua (264.545), diikuti Puan Maharani (174.435) dan Prabowo Subianto (114.649).
Pemetaan percakapan publik di media sosial dan berita di media online telah dilakukan FDS UI Research & Consulting sejak Juli 2022 yang dibagi menjadi 2 periode, sebelum dan sesudah deklarasi.
FDS UI Research & Consulting juga mencatat bahwa peta gerakan koalisi dalam politik nasional semakin sempit dan sejak saat itu intensitas aktivitas politik nasional meningkat pesat, terutama di media massa dan media sosial.
Maksud dan tujuan framing negatif
Menurut KBA News, memang semakin mendekati akhir masa jabatan Presiden Jokowi, semakin menggila pengumuman hasil survei tersebut jelas merupakan bagian dari skenario pemblokiran Anies Baswedan yang ditakuti para oligarki sehingga ingin mencegahnya. berpartisipasi dalam kontes pemilihan presiden.
Jelas ini adalah suara orde para oligarki yang semakin agresif menciptakan opini negatif terhadap Anies maupun terhadap NasDem, saat mereka mengamankan capres terpilih untuk melanjutkan kebijakan demi kepentingannya.
Tidak aneh jika di permukaan terasa janggal dan survei dengan klaim yang semakin amburadul cenderung ingin menggoyahkan opini publik dan ulah perusahaan survei abal-abal semakin meresahkan masyarakat, komentar pakar survei dari Survey Lintas Nusantara Andi Akmal kepada DailyNews Indonesia beberapa waktu lalu. yang lalu.
“Survei jenis ini semakin marak, dan mereka rajin menjalankan perintah yang pada akhirnya menjadi sampah demokrasi. Menjualnya adalah bentuk ‘penipuan publik’ meskipun tidak ada pembeli.” dia melanjutkan.
Publik kini sadar bahwa semakin mendekati tahun 2024 kegiatan survei -profesional atau palsu- semakin menggila. Ada dana ratusan triliun rupiah, seperti dugaan pengacara Kamaruddin Simanjuntak, untuk kerja media, politisi, penegak hukum, dan pemerintah untuk tujuan win-win dan target tetap berkuasa.
Perusahaan survei ini sebenarnya sadar bahwa masyarakat paham mereka berniat menipu opini dengan menjual hasil polling mereka ke publik. Mereka sadar kontestan partai bahkan calon presiden melakukan survei internal sendiri apa adanya karena penting untuk krisis politik.
Tapi masalahnya bukan itu, melainkan ada dana oligarki besar yang bisa dicairkan dengan proposal dengan tujuan tersebut, komentar seorang pakar survei.
“Sekarang hampir setiap hari ada pihak yang mengaku sebagai perusahaan survei, padahal di permukaan mereka mengaku sebagai konsultan politik profesional, dan jelas mereka meluncurkan hasil survei untuk mempengaruhi opini publik, tentunya dengan bayaran,” komentarnya. Dan saya.
“Agak tragis juga, umum termasuk pilpres adalah lahan perusahaan survei dan media ‘panen besar’ dalam semangat ‘rame-rame pata cengke’ dan ‘maju tak gentar membela yang bayar’. untuk membela mereka yang membayar) padahal demi kepentingan oligarki mereka terpaksa mengorbankan kejujuran akademik dan harus membohongi rakyat demi kelangsungan hidup,” jelasnya.
Maka tidak mengherankan jika besok dan seterusnya akan ada lagi perusahaan survei sekelas Indikator Politik Indonesia yang dengan berani dan tanpa malu-malu mengumumkan hasil yang bertolak belakang dengan kenyataan.
Inilah yang membuat publik semakin tidak percaya dengan hasil survei yang dipublikasikan dengan tujuan dan imbalan materi yang jelas, komentar netizen lain yang kecewa dengan cara bekerja tanpa etika atau dalam hal prinsip ilmiah.
Seperti diketahui, banyak perusahaan konsultan politik dengan kontrak membayar perlindungan di balik survei yang seharusnya mengedukasi publik dengan hasil survei yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan metodologis, malah menjadi opinion leader, keluh netizen.
“Dalam praktik ini, perusahaan survei merongrong demokrasi, demikian kesimpulan berbagai komentar netizen di media sosial.
Netizen mencatat bahwa ada 3 survei yang disinyalir seperti mengada-ada, dan salah satunya diduga Survei Indikator Politik Indonesia. Survei ini juga tak berani menyangkal fakta dengan alasan Anies kini mendominasi capres 2024.
Warganet juga heran mengapa survei tersebut keluar dengan hasil yang bertolak belakang, padahal keduanya mengklaim waktu, jumlah responden dan metodologi yang kurang lebih sama. (DJP)
Discussion about this post