Daily News|Jakarta – Ketua Perserikatan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Kamboja, mengatakan Menteri Luar Negeri Myanmar versi junta dilarang menghadiri pertemuan perserikatan itu di masa mendatang.
Kamboja menilai, junta tak melakukan banyak kemajuan sebagaimana yang tercantum dalam lima konsensus yang sudah disepakati di Jakarta, April 2021 lalu.
“Karena ada sedikit kemajuan dalam pelaksanaan Konsensus Lima Poin ASEAN, negara-negara anggota ASEAN tak sepakat Menteri Luar Negeri Myanmar (versi junta) Wunna Maung Lwin turut berpartisipasi dalam pertemuan menteri luar negeri yang akan datang,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Kamboja, Chum Sounry, kepada AFP, Kamis (3/2).
Sounry kemudian berkata, “Kami telah meminta Myanmar mengirim perwakilan non-politik sebagai gantinya.”
Sebanyak tiga di antara konsensus yang sudah disepakati di antaranya kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, dan ASEAN akan memfasilitasi mediasi. Konsesus lainnya yakni ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, serta akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar.
Dalam pernyataan resmi ASEAN menyerukan agar utusan khusus yang baru ditunjuk diizinkan berkunjung ke Myanmar. Mereka juga mendesak supaya kekerasan segera diakhiri dan tak ada lagi korban yang berjatuhan.
Boikot yang dilakukan negara anggota ASEAN terhadap junta bukan kali pertama. Pada Oktober lalu, mereka juga melarang Kepala Junta Min Aung Hlaing hadir dalam konferensi tingkat tinggi.
Sikap itu disebut sebagai teguran dari ASEAN yang kerap dipandang hanya bicara omong kosong. Bagaimanapun, mereka berusaha memimpin upaya diplomatik guna mengatasi krisis di Myanmar.
Namun, Myanmar semakin terisolasi dari panggung internasional usai Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menegaskan agar lima konsensus itu ditegakkan.
Mulanya, banyak pihak menduga kunjungan Hun Sen, mengindikasikan dukungan terhadap junta Myanmar. Namun, sejauh pengamatan dan selama Kamboja menjabat ketua ASEAN, sikap negara ini mulai terbaca.
Myanmar berada dalam kekacauan usai militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari 2021 lalu. Mereka menangkap petinggi negara termasuk penasihat sekaligus pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Selain para pejabat, junta juga menangkap siapa saja yang menentang kekuasaannya, bahkan tak segan membunuh mereka.
Menurut Lembaga Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), korban tewas sejak kudeta mencapai 1.510 jiwa, sementara yang ditangkap sebanyak 11.937 orang.
Discussion about this post