Daily News|Jakarta – Salah satu kuasa hukum terdakwa kasus tes swab RS Ummi, Bogor Rizieq Shihab, Ahmad Michdan mengatakan pihaknya memprioritaskan banding ketimbang meminta grasi dari presiden.
Sebelumnya, Rizieq divonis 4 tahun 8 bulan penjara dalam kasus penyebaran berita bohong hasil tes swab di RS Ummi Bogor. Hakim menawarkan opsi banding dan pengampunan presiden atau grasi.
“Mungkinkah dalam seminggu mengajukan grasi ke presiden? Konsekuensinya tetap ditahan. Tapi kalau dia nyatakan banding, otomatis kasus belum berkekuatan hukum,” ujar Michdan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Kamis (26/6).
Pengacara Rizieq yang lain, yakni Aziz Yanuar menyebut pihaknya lebih memilih banding ketimbang grasi karena sudah keputusan para terdakwa yang baru saja divonis.
Mereka adalah Rizieq Shihab, menantu Rizieq yakni Hanif Alatas serta Direktur RS Ummi Bogor dr. Andi Tatat.
Aziz sendiri menolak berkomentar kebih jauh. Ia mengaku kaget saat mendengar ada opsi permintaan grasi ke presiden.
Menurut Aziz, selama persidangan berlangsung, ia tidak pernah mendengar adanya opsi grasi tersebut. Pula, tidak muncul di persidangan kasus kerumunan Megamendung dan Petamburan yang menjerat Rizieq dan sejumlah eks pentolan Front Pembela Islam.
“Biar para ahli hukum yang berkomentar apakah ini lazim atau tidak. Tapi kita kaget juga, tapi Habib dan para terdakwa sudah memutuskan akan banding,” kata Aziz.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis kepada Rizieq dengan hukuman 4 tahun penjara terkait kasus penyebaran berita bohong hasil tes swab di RS Ummi Bogor.
Hakim menawarkan tiga opsi kepada Rizieq guna menanggapi vonis tersebut, yakni menerima atau menolak vonis tersebut atau mengajukan banding saat itu juga, pikir-pikir dahulu selama tujuh hari, serta terakhir meminta permohonan pengampunan kepada Presiden Joko Widodo.
“Dengan ini saya menolak putusan majelis hakim. Saya nyatakan banding,” kata Rizieq menjawab pertanyaan hakim.
Pakar: Tak lazim
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda mengungkapkan ketidaklaziman saat majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) memberikan opsi salah satunya meminta ampunan Presiden Jokowi untuk Rizieq merespons vonis 4 tahun bui.
Ia menyoroti penjelasan hakim mengenai opsi pengampunan presiden dalam menyikapi putusan pengadilan. Menurut dia, hal tersebut biasanya dijelaskan hakim ketika terdakwa mengakui perbuatannya.
“Saya kira wajar saja [hakim memberi penjelasan]. Jadi tidak lazim karena hakim semestinya tahu pengampunan hanya dapat dilakukan oleh orang yang mengaku bersalah, sedangkan HRS [Rizieq Shihab] selama persidangan meyakini dirinya tidak salah,” ujar Huda, Kamis (24/6).
Ia berpendapat sikap hakim tersebut memberikan kesan seolah-olah masalah yang menjerat eks pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu bukan ranah pengadilan.
“Hakim memberi kesan seolah-olah masalah HRS bukan dengan pengadilan, tapi dengan Presiden. Jadi, silakan minta pengampunan,” imbuhnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan konsekuensi jika Rizieq mengambil opsi pengampunan Presiden. Di antaranya adalah ia diampuni dan hukuman dikurangi; diampuni dan dibebaskan; serta permintaan pengampunan ditolak.
“Soal berapa besar akan diampuni sepenuhnya kewenangan presiden,” ucap dia.
Sebelumnya, hakim setelah membacakan vonis kemudian memberikan penjelasan terkait hak terdakwa Rizieq Shihab sebagaimana ketentuan Pasal 196 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Di antaranya yakni hak segera menerima atau menolak putusan; hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU ini; dan hak meminta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.
Rizieq langsung menyatakan banding atas vonis empat tahun pidana penjara. Hakim menilai Rizieq terbukti melakukan tindak pidana penyebaran berita bohong terkait tes swab di RS Ummi Bogor. Ia dinilai melanggar Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Discussion about this post