PADA abad ke-16 nahkoda kapal-kapal Portugis menyebut wilayah laut yang berbatasan dengan China, Taiwan dan negara-negara pantai Asia Tenggara tersebut sebagai Mare da China (China Sea/Laut China) dan kemudian lebih spesifik menjadi Laut China Selatan, agar lebih jelas membedakan dengan sisi lainnya dari Laut tersebut.
Dari pihak China sendiri, penamaan laut ini sudah diakui sejak jaman Dinasti Zhou Barat (1046-77 SM) dengan nama Nanfang Hai (Laut sebelah Selatan), kemudian berubah sedikit menjadi Nan Hai (Laut Selatan). Sempat berubah menjadi Zhang Hai (Laut Cembung) serta Fei Hai (Laut Panas) pada Dinasti tertentu. Namun pada Dinasti Qing (1644-1912), dinasti terakhir di China, namanya kembali menjadi Nan Hai (Laut Selatan).
Lembaga dunia yang terkait dengan pendataan laut dan samudera, International Hydrographic Organization (IHO), dalam buku terbitannya ‘Limits of Ocean and Seas’, edisi ke-3 tahun 1953, menetapkan Nan Hai (Laut Selatan) yang dalam bahasa Inggrisnya ditambahkan kata China di tengah menjadi South China Sea, adalah wilayah laut seluas sekitar 3.5 juta km2 yang berbatasan dengan Republik Rakyat China, Taiwan, Philipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Vietnam.
Selain nama South China Sea (Laut China Selatan), laut tersebut pernah juga disebut Champa Sea atau Sea of Champa, mengambil nama Kerajaan Champa yang pernah memerintah di wilayah Indochina dari abad 2 s/d 17.
Sejumlah nama lain adalah East Sea oleh Vietnam), West Philippines Sea, dan Laut Natuna Utara oleh Indonesia, yaitu wilayah perairan antara Pulau Natuna dan daerah ZEE Vietnam.
Adanya beberapa sebutan selain South China Sea (SCS) tidak lebih untuk memudahkan identifikasi bahwa laut tersebut berada dekat dengan daerah, kerajaan, atau negara tertentu, dalam hal ini di sekitar wilayah China.
Dengan alasan yang sama, terdapat sejumlah nama laut mengikuti wilayah terdekatnya, seperti: Samudra Hindia, Laut Jepang, Laut Arab, Laut Persia, dst. Dengan demikian, maka nama Laut China Selatan (LCS) sama sekali tidak berarti kepemilikan oleh China.
LCS merupakan salah satu jalur transportasi perdagangan tersibuk senilai sekitar US$ 5 trilyun, menyumbang 10 persen kebutuhan ikan dunia, serta kaya dengan sumber alam seperti minyak bumi, gas alam maupun bahan tambang lainnya.
Dalam dua-tiga dekade terakhir, LCS menjadi perhatian dunia karena diperebutkan kepemilikannya oleh negara-negara yang berpantai laut tersebut, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
China mengklaim sekitar 90 persen perairan LCS yang berada dalam garis lengkung ‘Nine-dash line’ yang dibuatnya secara sepihak. Dalam Edaran Nota Diplomatik Kemlu RRC tahun 2011 disebutkan bahwa klaim China terhadap wilayah Laut China tersebut didasarkan pada ‘traditional fishing grounds’ para nelayan China sejak berabad lampau.
Tahun 1974 terjadi konflik bersenjata antara Vietnam dengan China memperebutkan Kepulauan Paracel, yang dimenangkan China. Sejak itu China menempatkan menara oil rig, membangun helipad serta menempatkan peluru kendali darat-ke-udara di sana.
Guna memperkuat kehadirannya di Kepulauan Spratly, pada tahun 2014 China melakukan reklamasi untuk dijadikan landasan terbang/runway pesawat militer serta sistem pertahanan rudal.
Tribunal Arbitrase Internasional di Den Haag bulan Juli 2016 memenangkan tuntutan Filipina dalam kepemilikan Kepulauan Scarborough. Putusan tersebut menyebutkan bahwa klaim‘nine-dash line’ China tidak berdasar.
Tribunal juga menyebut proyek reklamasi dan pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly menimbulkan kerusakan terumbu karang.
China langsung menolak putusan Tribunal yang disebutnya sebagai lemah argumennya.
Indonesia awalnya tidak termasuk pihak peng-klaim terhadap kepemilikan LCS dan gugusan terumbu karang di dalamnya, namun kemudian menjadi pihak yang bersengketa setelah pemerintah China menegaskan klaim LCS bersadasarkan ‘nine-dash line’, yang garisnya bertindihan dengan wilayah ZEE perairan Natuna.
Sejak 2014 kapal-kapal nelayan China mulai terang-terangan beroperasi menangkap ikan di perairan Natuna yang dikawal dengan kapal Coast Guard China.
Berhubung sengketa perairan LCS melibatkan 5 (lima) negara anggota ASEAN, maka dalam KTT ASEAN ke-20 di Phnom Penh 2012, para pihak pengklaim LCS (China, Vietnam, Philipina dan Brunei Darussalam) diserahi untuk menyusun Code of Conduct (COC).
Beberapa komponen penting dalam itu adalah: Freedom on Navigation and Overflight; penyelesaian sengketa secara damai; tidak menduduki atau membangun fasilitas di LCS; meningkatkan keselamatan navigasi; kerjasama dalam penelitian ilmiah; serta upaya pengembangan minyak dan gas.
Selain 5 negara ASEAN yang menjadi pihak bersengketa, sejumlah negara di luar kawasan konflik juga menolak klaim China terhadap jurisdiksi LCS berdasarkan ‘nine-dash line’.
Australia, India, Jepang bersama Amerika menghendaki Laut China Selatan tetap menjadi perairan internasional, freedom of navigation operations sesuai dengan UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
AS yang menggunakan LCS sebagai jalur perdagangannya senilai US$ 1.2 trilyun/tahun, menyambut baik keputusan Tribunal Den Haag yang mengabulkan tuntutan Filipina.
Menurut Tom Miller, penulis buku China’s Asian Dream, alasan utama China mengklaim 90% lebih perairan LCS adalah agar bisa mendapatkan hak/kedudukan strategis dalam mengontrol lalu-lintas kapal-kapal di perairan tersebut.
China sebagai kekuatan ekonomi ke-2 terbesar dunia, 60% nilai perdagangannya dilakukan melalui laut, terutama LCS. Dan sebagai negara oil-hungry pengimpor minyak terbesar dunia, hampir 80% di antaranya melalui Laut China Selatan.
Posisi Indonesia sebagaimana dinyatakan Menlu Retno LP Marsudi pada Pernyataan Pers Tahunan tahun 2019, bahwa LCS haruslah menjadi laut yang stabil dan damai dengan menghormati hukum dan kaidah internasional, termasuk UNCLOS 1982.
“Indonesia selalu konsisten menolak klaim China terhadap LCS berdasarkan ‘nine-dash line’ karena tidak sesuai dengan hukum internasional,” tegas Menlu Retno.
Posisi ini juga dengan tegas menolak pernyataan pemerintah China bahwa perairan Natuna termasuk dalam wilayah penangkapan ikan tradisional (traditional fishing ground) para nelayan China.
Oleh: M. Asruchin
Mohamad Asruchin, Pakar China, Lulusan UI dan University of Washington, Seattle, AS, Dubes RI untuk Uzbekistan, merangkap Kazakhstan, Kirgizstan, 2010-2014
Discussion about this post