Oleh: Chazali H. Situmorang*
PADA hari Kamis, 8 Oktober 2020 demo buruh mencapai puncaknya. Kondisi terparah terjadi di Jakarta, demikian juga Surabaya, Bandung, Bekasi, Yogyakarta, Makasar, dan Medan.
Demo buruh kali ini, tingkat kerusakannya cukup besar terutama di Jakarta, terjadi pembakaran sarana umum ( halte bus), Pos Polisi, mobil-mobil plat merah disasar pendemo.
Melihat serentak dan simultannya mereka bergerak, menggambarkan bahwa suasana batin para buruh sudah pada gelombang amplitudo yang sama. Di ikuti oleh para yuniornya anak sekolah SMK bahkan katanya ada yang tingkat SMP.
Bukan itu saja, organisasi masyarakat besar seperti Muhammadiyah dan PB NU, menyesalkan langkah pemerintah yang begitu gegabah memutuskan Omnibus Law UU Cipta Kerja, juga puluhan perguruan tinggi dan para akademisi sudah menyarankan hal yang sama untuk menunda pengesahannya, karena ada tahapan sosialiisasi , adukasi dan proses dialog yang belum tuntas.
Apa yang dilakukan DPR, rasanya kurang terpuji, karena kucing-kucingan dengan buruh, dengan mempercepat mengetok palu 5 Oktober 2020, yang di publikasikan secara resmi oleh DPR adalah 8 Oktober 2020.
Ada optimisme seluruh fraksi DPR, kecuali PKS dan Demokrat, bahwa ancaman demo buruh itu hanya riak gelombang kecil, apalagi tokoh buruh Andi Gani dan Said Iqbal ketemu Presiden sebelum ketok palu Omnibus Law UU Cipta Kerja diputuskan dalam Sidang paripurna.
Tokoh dan para pimpinan buruh, sudah mengingatkan DPR untuk tidak memaksakan mengesahkan Omnisbus Law UU Cipta Kerja, kerana ada berbagai pasal yang dirasakan merugikan buruh. Jika tidak mereka mengancam akan demo besar-besaran secara nasional selama 3 hari, yaitu tanggal 6,7 dan 8 Oktober 2020.
Polisi tidak kalah garangnya, menyatakan tidak memberikan izin demo karena suasana covid-19. Apa yang terjadi Kepolisian tidak berdaya menahan dan melarang demo, bahkan diujung demo di akhiri dengan pembakaran sarana umum dan bentrokan dengan Polisi.
Situasi ini, tidak terlepas dari pernyataan Pejabat Tinggi Negara di media TV swasta Selasa malam ( 6/Okt.2020), bahwa keputusan DPR dan Pemerintah menetapkan Omnibus Law UU Cipta kerja, mendapatkan penghargaan dan pujian global, dari Bank Dunia, Washington, Abu Dhabi, dan memuji keberanian Presiden Jokowi menetapkan Omnibus Law tersebut.
Besoknya, demo makin menjadi-jadi, dan puncaknya Kamis 8 Oktober 2020 kemarin. Bertolak belakang dengan pujian Internasional. Suatu ironi yang memilukan. Pasti juga dunia Internasioal meliput demo itu dengan berbagai kerusuhan, pemukulan dan penangkapan. Apakah mereka akhirnya akan tetap memuji atau sebaliknya, kita akan lihat perkembangan selanjutnya.
Korelasi Sebab Akibat
Mari kita lihat dengan jernih persoalan ini. Penolakan buruh dari awal sebenarnya sudah terjadi. Tetapi perwakilan buruh masih ada yang berkeinginan untuk ikut membahas karena pihak DPR berjanji untuk mendengarkan suara buruh.
Tetapi dalam perjalanan waktu pembahasan mulai April yang berlangsung selama enam bulan, dalam suasana covid-19, banyak pihak minta ditunda saja dulu, karena kondisi ekonomi yang terancam krisis, dan kasus covid-19 meningkat terus. Bayangkan hari-hari mendatang mungkin akan mencapai jumlah terinfeksi 5000 orang per hari.
Dalam suasana pemerintah sedang mati-matian menangani covid-19 dan menahan penurunan pertumbuhan ekonomi yang minus 5%, pada kuartal kedua, pihak DPR tanpa berfikir panjang karena desakan pemerintah juga, terus bersidang membahas DIM Omnibus Law RUU Cipta kerja, akibatnya banyak anggota DPR yang terkena infeksi covid-19, bahkan ada beberapa yang meninggal dunia.
Menko Perekonomian berbagi peran dengan Menkomarvest. Airlangga Hartarto Pimpin Tim Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, atas perintah Presiden Jokowi dikerjakan oleh LBP selaku Wakil ketua Pengarah. Airlangga lebih banyak berperan mengawal proses pembahasan DIM Omnisbus law di DPR.
Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, mesin partai efektif mengendalikan DPR apalagi sudah berkolaborasi dengan partai-partai kubu pemerintah. Jalanlah proses pembahasan dengan licin, luncur dan lancar. Aktivis buruh kalang kabut. Tidak berdaya dengan kelincahan anggota DPR. Akhirnya mereka mengeluarkan senjata pamungkas yang dilindungi undang-undang yaitu mengancam demo besar-besar. Dan itu sudah terbukti sekarang ini.
Buruh tidak punya kekuatan lain selain demo dan jumlah buruh yang banyak. Implikasi dari demo yang masif dan meluas itu sudah dapat diduga dan seharusnya juga pemerintah juga menduga bahwa tidak lepas dari kerusuhan, bakar-membakar, dan pengerusakan. Itu sudah sering terjadi.
Banyak kelompok masyarakat mengingatkan pemerintah. Jika demo terjadi tidak ada satupun yang diuntungkan. Sarana umum hancur, terjadi kluster baru buruh yang akan terinfeksi covid, ekonomi semakin terpuruk. Bagi buruh sepertinya tidak memperdulikan soal covid itu. Mereka mungkin merasakan sudah berhadapan dengan suasana sulit dalam mencapai kesejahteraan dengan Omnisbus Law itu.
Pemerintah dan DPR meyakinkan buruh, bahwa Omnisbus law UU Cipta Kerja untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Tetapi buruh kelihatannya sudah tidak percaya. Pmerintah dan DPR sudah mengalami distrust di mata buruh.
Nasi sudah menjadi bubur. Kita tidak perlu lagi bicara soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Pemerintah dan DPR harus melakukan kontemplasi, apalah artinya upaya baik Pemerintah dan DPR jika buruh dan sebagian masyarakat tidak percaya. Masih ada kesempatan pemerintah untuk memperbaiki situasi ini. Dengan menerbitkan Perppu untuk membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Semoga. Cibubur, 10 Oktober 2020
*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
Discussion about this post