Apa arti cinta? Ada sepenggal kisah nyata dari Hyderabad, India Selatan, 12 tahun silam, tepatnya April 2007—seperti diberitakan AFP dan Reuters. Alkisah, di sebuah desa di Hyderabad, hiduplah sepasang manula. SN Madauraj namanya, 67 tahun, dan istrinya, Rabai (53). Mereka tidak dikaruniai keturunan. Bertahun-tahun mereka hidup ditemani “seorang” anak angkat. Pupy namanya (13 tahun).
Tapi, tidak seperti Pak Madauraj dan Bu Rabai, Pupy berbulu, berekor, dan bertaring. Anak itu tak bisa bicara. Ia hanya bisa menggonggong, sebab Pupy seekor anjing. Pak Madauraj dan Bu Rabai amat mencintai Pupy. Bagi pasangan ini, Pupy lebih dari anak kandung, cucu, atau cicit sendiri. Pupy adalah belahan jiwa yang tak terpisahkan.
“Amor vincit omnia” (Cinta mengalahkan segalanya)—demikian bunyi ungkapan Latin. Dan, cinta Pak Madauraj dan Bu Rabai pada Pupy pun mengalahkan segalanya. Mengalahkan fakta bahwa mereka manusia, sedangkan Pupy seekor anjing. Mengalahkan logika ilmiah bahwa manusia dan anjing punya akar genetik yang berbeda.
Untuk meminjam istilah Kelley, psikolog AS, Pak Madauraj dan Bu Rabai agaknya mengidap semacam cinta altruistik pada Pupy—cinta yang biasanya dimiliki seorang ibu, dalam kasus ini juga ayah—untuk anaknya. Cinta yang berhambur kasih sayang tak terbatas. Dan, cinta Pak Madauraj dan Bu Rabai pada Pupy tak dapat diukur dengan jarak New Delhi-Hyderabad.
Apakah cinta itu? Sederet filsuf punya definisi. “Cinta adalah konflik,” kata Satre, filsuf Prancis bermata juling. “Cinta adalah topeng,” kata Nietzche, filosof Jerman. Tentu, Sartre dan Nietzche memahami cinta dalam perspektif sosiologis.
Cinta tentu berdimensi emosional. Tetapi, ketika dioperasikan di tingkat praxis, cinta—khususnya dalam relasi antargender—seringkali juga perlu kalkulasi dan pertimbangan rasional. Bahkan, dalam kehidupan manusia, cinta kadang mirip politik—sebutlah mikropolitik. Sebab, di balik proyek cinta, tak jarang tersembunyi motif berupa kepentingan-kepentingan. Misalnya: ingin ketularan uang, martabat sosial, dan sebagainya.
Memang, cinta ditentukan oleh motif—kata Erich Fromm, psikolog Jerman, dalam bukunya The Art of Loving (1956). Motif itu, kata Fromm, paling tidak ada dua: to have (hasrat untuk memiliki), dan to become (hasrat untuk menjadi).
Tetapi, untuk kasus Pak Madauraj-Bu Rabai-Pupy, kata-kata Sartre, Nietzsche, atau Fromm, gugur. Tak ada konflik—tak perlu—antara Pak Madauraj-Bu Rabai dan Pupy untuk berebut sepotong tulang, misalnya. Pupy pun tak perlu menyembunyikan ekornya bahwa ia “hanya” seekor anjing.
Sebaliknya, sehari-hari di depan Pupy, Pak Madauraj dan Bu Rabai tak perlu mengenakan topeng seraya berpura-pura menjadi anjing. Cinta mereka bugil. Transparan. Telanjang.
Mungkin saja Pak Madauraj dan Bu Rabai diam-diam menyimpan hasrat memiliki Pupy, dan mereka telah memilikinya. Tetapi, tidak seperti dalam teori Fromm, pasangan manula itu agaknya tak berhasrat menjadi anjing.
Salahkah Pak Madauraj dan Bu Rabai mencintai Pupy? Salahkah manusia mencintai anjing? Henry A Bowman dalam Marriage for Moderns (1960) menulis, “Cinta adalah satu hal bagi seseorang, dan hal lain bagi orang yang berbeda.”
Makna cinta, kata Bowman, ditentukan oleh latar dan pengalaman hidup masing-masing si pemberi makna. Untuk kasus Pak Madauraj dan Bu Rabai, mereka amat mencintai Pupy mungkin karena pasangan manula ini tak dikaruniai keturunan.
Tapi, apa boleh buat. Cinta tak mesti (selalu) bersatu–demikian bunyi sepotong lirik lagu Ebiet G Ade. Diam-diam maut menyergap Pupy. Sang anjing mati.
Tak ayal, batin Pak Madauraj dan Bu Rabai guncang. Mereka tak henti berurai air mata, terjerembab ke dalam perasaan dukana. Di bawah langit Hyderabad, pasangan ini akhirnya memakamkan Pupy, lengkap dengan upacara.
Sunyi. Waktu bergerak. Detik-detik berguguran. Malam beringsut. Berita-berita tentang konflik dan kelaparan menyeruak di televisi nasional India. Tapi, apa arti hidup bagi Pak Madauraj dan Bu Rabai tanpa Pupy? Sepi. Hampa.
Maka, diam-diam pasangan manula ini menyusun sebuah rencana. Mereka mengundang teman-teman mereka. Mungkin sesama manula. Para tamu itu dijamu—agaknya sebagai tanda perpisahan. Usai acara, mereka gantung diri—menyusul anjing mereka yang terlebih dahulu berpulang ke alam baka.
Bahkan, sebelum menjemput maut, mereka sempat meninggalkan secarik kertas bertanggal 29 Maret 2007. Kertas itu ditemukan polisi di ruang tidur mereka. Isinya: catatan tentang perasaan duka yang mendalam atas kematian Pupy, anjing mereka—belahan jiwa mereka.
“Aneh,” komentar teman-teman Pak Madauraj dan Bu Rabai, mungkin, setelah mendengar berita itu. “Gila,” bisik para tetangga mereka, mungkin.
Mungkin aneh, mungkin juga gila. Tetapi, dapat dimengerti. Sebab, ketika dua orang—dalam kasus ini tiga makhluk—saling mencintai, “tak ada yang lebih penting dan membahagiakan selain memberi,” kata sastrawan Prancis, Guy de Maupassant. Bahkan, fakta, “cinta sering menjelma atraksi irasional,” kata Kelley.
Maka, demi cinta, Pak Madauraj dan Bu Rabai pun siap memberikan apa saja buat Pupy. Apa pun siap dikorbankan demi dan buat sang anjing, termasuk nyawa. Cinta yang betul-betul definitif, bulat, total. Sebuah “atraksi” yang betul-betul tragis, absurd—“irasional”. *Ahmad Nurullah
Discussion about this post