Daily News|Jakarta – Pengamat politik yang produktif menyampaikan tanggapan dalam artikel yang senantiasa viral, Tony Rosyid, kemarin mengajak netizen flashback ketika ide ‘new normal’ digaungkan, dan tidak kurang oleh Presiden Jokowi sendiri. Namun katanya, pemahaman yang keliru itu berakibat fatal dan sampai kini Indonesia belum sampai pada puncak kasus Corona.
“Memang, tak mudah bagi setiap negara menghadapi wabah covid-19. Terutama yang telat menyadari, dan otomatis telat pula menangani wabah covid-19 seperti Indonesia. Tergopoh-gopoh. Bayangkan kalau anda diserang musuh secara mendadak, dan anda gak siap. Apalagi jika sebelumnya anda menganggap remeh musuh (COVID-19) itu,” tulisnya di awal.
“Yang jengkelin, sudah salah itung, telat, gagap, panik, lalu kirim pasukan buzzer untuk membuat narasi-narasi pembenaran. Koplak!”
Memang dilematis! Atasi pandemi, jadi ancaman buat ekonomi. Fokus di ekonomi, pandemi merajalela.
PSBB, meski telat, itu tindakan yang tepat. April-Mei, ketika PSBB diberlakukan, kasus terinveksi covid-19 bisa ditekan. Rata-rata perhari 445, dengan tingkat kematian rata-rata 26 orang setiap hari.
Tanggal 14 April, Jokowi posting video. Wacanakan tatanan hidup baru. Bahasa inggrisnya “New Normal” 15 Mei Jokowi pidato di Istana. Diantara isi pidato Jokowi: “Dan kita memang harus berkomprimi dengan covid, bisa hidup berdampingan dengan covid, yang kemarin saya bilang kita harus berdamai dengan covid, karena informasi dari WHO yang saya terima meskipun kurvanya agak melandai, atau nanti berkurang, tapi virus ini tak akan hilang.
Artinya, sekali lagi kita harus berdampingan hidup dengan covid. Sekali lagi yang penting masyarakat produktif dan aman dari covid”.
Entah dapat ide dan gagasan dari mana pemerintah membuat wacana New Normal. Gak sabar. Terlalu terburu-buru. Panik yang gak perlu. Berlebihan takutnya terhadap “bayangan” dampak ekonomi, tanpa dikalkulasi dari banyak sisi. Ingin segera normal kembali tanpa rasionalitas untuk antisipasi.
Apa yang terjadi? Semua ambyar! Saat itu saya bilang: “ini Herd Imunity”. Siapa yang kuat akan hidup, siapa yang lemah, bakal kelar.
Terbukti! Kasus covid-19 naik drastis. Juni naik jadi 1.141 perhari. Juli naik 1.714 perhari. Agustus naik 2300 perhari. Dan September di atas 3000. 16 September kemarin kasus naik hampir 4000 sehari. Tepatnya 3.963 orang.
Jika April-Mei yang mati perhari 26 orang, Juni naik jadi 49 orang. Juli 73 orang. Agustus 80 orang. September ini, tingkat kematian di atas 100 orang per hari. Tanggal 16 September kemarin, ada 135 orang mati karena covid-19. Dan trend angkanya terus naik.
Anehnya, ketika kasus covid-19 naik signifikan di bulan Juni, persis pasca New Normal dimunculkan, dan terus naik di bulan juli, kenapa pemerintah gak melakukan evaluasi? Mengapa tidak segera tarik rim darurat? Lalu apa gunanya data kalau gak dievaluasi dan jadi referensi kebijakan? Sampai disini, saya betul-betul gak paham.
Dan ketika di bulan September kenaikan kasus covid-19 semakin tak terkendali, ada kepala daerah melakukan evaluasi dan berinisiatif tarik rim darurat, justru diberi peringatan. Dibully dan diserang habis-habiskan. Ini ada apa?
Saat berlakukan New Normal, apakah pemerintah tidak mempertimbangkan bahwa masyarakat Indonesia punya karakter khas yaitu “tidak disiplin”. Kok salahkan masyarakat? Tidak! Ini juga dampak dan korban dari ketidakdisiplinan pemerintah yang sudah jadi watak dari rezim ke rezim. Terutama pada aspek hukum. Teorinya: “Hukum yang tidak ditegakkan dengan baik akan melahirkan masyarakat tidak disiplin” .
Coba saja “tilang” diberlakukan dengan ketat di jalan raya, pelanggaran lalu lintas “pasti” akan berkurang drastis. Jika tak ada makelar kasus, otomatis kriminalitas akan berkurang. Kalau UU Pemilu ditegakkan, pelanggaran pemilu akan menurun. Belum lagi praktek hukum “tebang pilih”, yang makin merusak kedisplinan masyarakat.
Andai saja New Normal dibarengi dengan operasi yustisi, lalu memberi sanksi kepada masyarakat yang mengabaikan protab kesehatan, maka Indonesia gak akan jatuh banyak korban covid-19 seperti saat ini. Setelah ratusan orang mati perhari, baru bicara UU No 4/1984 tentang kemungkinan penerapan sanksi pidana dan denda bagi yang mengabaikan protab kesehatan. Minta pergub, perbup dan perwali dijadikan perda, supaya ada sanksi. Telat banget!
Bukannya makin naik kasus covid-19, itu akan jadi lahan bisnis menggiurkan? Tidakkah ini menguntungkan untuk bisnis masker dan APD (Alat Pelindung Diri), dengan semua turunannya? Terutama bagi penyedia vaksin. Modal dan investasi besar, lalu gak ada yang terpapar corona, bandar bisa tekor.. Ah, gelap! Jangan ada yang memancing di air keruh. Ora elok!
Disiplin, ini jadi masalah bagi masyarakat akibat penegakan hukum yang bermasalah. Terhadap karakter masyarakat yang tidak disiplin seperti Indonesia, New Normal lahir. Ini sama artinya mengacak-acak proses belajar masyarakat untuk hidup disiplin. Semuanya jadi berubah drastis. 3 M: Memakai Masker, Menjaga jarak dan Mencuci tangan terabaikan. Dan ini bisa kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Saat kasus covid-19 perhari dibawah 500 orang, sekitar bulan Maret-Mei, masyarakat sangat waspada terhadap penyebaran covid-19. Malah sebagian cenderung takut. Orang-orang gak keluar rumah kecuali kebutuhan urgent. Gang-gang RT dan RW banyak yang diportal. Setiap tamu yang datang disemprot disinfektan. Bukan hanya kendaraannya, tapi juga orangnya. Pedagang keliling didisiplinkan. Ada penyemprotan disinfektan dua kali dalam seminggu. Bahkan sebagian kepala daerah berlomba “cari sensasi” dan “pamer” penyemprotan.
New Normal muncul. PSBB diperlonggar. Kasus naik. Semakin hari makin tinggi jumlahnya. Bertambah hingga 4000-an orang, dengan tingkat kematian di atas 100 orang perhari.
Meski semakin besar ancaman penyebarannya, masyarakat merasa aman-aman saja. Ramai beraktifitas di luar rumah. No masker. No cuci tangan. No jaga jarak. Cafe-Cafe dan restoran penuh. Mall-mall berjejal orang belanja. Jalanan padat. Orang-orang berkerumun lagi. Normal kembali, seperti gak ada penyebaran covid-19. Ini terjadi sejak makhluk bernama “New Normal” lahir.
Lagi-lagi, ini karena pemerintah gak sabar, gegabah, berlebihan ketakutannya terhadap “bayangan” dampak ekonomi, bahkan malah sibuk memanfaatkan kesempatan untuk mengusulkan RUU yang gak urgent dan belum perlu untuk dibahas.
Jadi, gagasan New Normal telah mengakibatkan pertama, angka kasus covid-19 naik terus, bahkan sangat tinggi. Kedua, ekonomi tetap terpuruk, dan butuh waktu makin panjang lagi untuk recovery. Belum ada tanda-tanda untuk pulih. Ini seperti buang air di ember bocor. Tangani ekonominya, tapi abaikan kesehatan. Gagal! Semua langkah ekonomi seperti sia-sia. Ketiga, Indonesia dilock down 68 negara.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Gak ada satupun pejabat yang minta maaf, catat Tony menutup artikelnya. (DJP)
Discussion about this post