Daily News|Jakarta – Diskusi perdana ForJis selama Rumah Kedaulatan Rakyat Guntur 49 dipugar, Jum’at, 4 Februari 2022, mengetengahkan topik “Siasah Kearah Revolusi Perubahan Bangsa Yang Berdaulat”.
Pembicara yang sebagai nara sumber diantaranya Salim Hutajulu, aktivis Malari 1974, Jumhur Hidayat, Aktivis Pro Demokrasi dan Benny Akbar Fatah yang sudah mencetuskan “Revolusi atau Revolusi” sejak tahun 2004 yang berbasis di Klinik Hukum Merdeka Komplek Bina Marga, Jakarta.
Klinik Hukum Merdeka juga giat memberi bantuan hukum bagi rakyat tertindas. Sementara Jumhur Hidayat yang didaulat menjadi pembicara pertama mengatakan tentang siasah seperti yang dimaksud HOS Tjokroaminoto, semacam keterampilan atau strategi politik.
Lalu parodi tentang roti dan sirkus itu juga semacam siasah juga bagi penguasa yang seperlunya saja memberi sedikit roti pada rakyat dan hiburan ala kadarnya agar rakyat bisa dijinakkan.
Konsep demokrasi yang mengkalkulasi pendapatan rata-rata 4000 dollar itu sesungguhnya tragis. Hingga orang yang berpenghasilan rendah atau bahkan tak punya penghasilan apa-apa diklaim juga punya pekerjaan atau penghasilan.
Lalu Jumhur Hidayat berkisah mengapa dirinya beberapa waktu lalu ditangkap dan dipenjarakan.
Padahal soalnya dia hanya berkata bahwa Omnibus Law itu inkonstitusial. Buktinya kemudian memang begitu, karena MK (Mahkamah Konstitusi) telah memutuskan seperti yang Jumhur katakan, inkonstitusional. Tapi realitanya dirinya ditangkap juga.
“Jadi saya percaya bila oligarki itu hanya bisa dihadapi oleh kekuatan massa. Bukan dengan kekuatan lain, apapun bentuknya”, tandas dia.
Atas dasar itu Jumhur Hidayat percaya kekuatan kaum pergerakan ada bersama orang-orang lemah yang diabaikan oleh penguasa”, tandasnya.
Dokter Zulkifli Ekomey yang dipersilahkan menyela oleh moderator, mau menegaskan UUD 1945 itu bukan diubah, tapi diganti seperti kata para Guru Besar UGM, katanya.
“Jadi, saya tidak anti perubahan, tapi melihat UUD 1945 itu diganti, bukan dirubah. Karena semua hasil peribahan (amandemen) berbeda dengan naskah UUD 1945 yang asli.
Benny Akbar Fatah, mengurai pokok pikirannya yang meresahkan. Seperti sudah jadi budaya di negeri kita, ada kecenderungan yang mudah dibuat susah, dan yang susah dibuat mudah.
Tahun 2017, kata Kang Eben, demikian sapaan akrabnya, mengungkap lahirkan UU Presidensial Treshold. Sebagai penggerak Forum Ukhuwah Islamiah ia berinisiatif untuk menggugat ke MK tentang aturan yang ngaco itu. Masalahnya seperti Pancasila yang diklaim sebagai ideologi, padahal setiap orang Indonesia lebih percaya pada agama yang dianutnya.
Ironinya sama juga dengan slogan tentang Indonesia yang dikatakan harga mati. Jika begitu, harganya tidak boleh ditawar, tapi bisa dibeli.
Jumhur Hidayat pun tidak setuju menggunakan slogan NKRI harga mati, sebab saya justru melihat NKRI mati harga, kata dia tidak kalah serius.
Salim Hutajulu mengungkap kegerahannya mengenai IKN (Ibu Kota Negara) yang mau dipkndahkan ke Kalimantan Timur itu, karena telah menimbulkan kegaduhan hingga banyak spekulasi untuk harga tanah di Penajam Kalimantan Timur itu.
Tentu saja mulai dari proses perencanaan dan pembahasannya yang sembrono itu semakin membuat curiga, jangan-jangan semua itu cuma sekedar untuk mengalihkan isu saja agar rakyat terlena dan lalai memperhatikan kasus-kasus besar yang sedang dilakukan untuk menguras duit rakyat, kata aktivis Malari yang terjadi pada tahun 1974 itu. (DJP)