Daily News|Jakarta – Penulis Entang Sastramatmadja, ketua harian DPD HKTI Jawa Barat, menyoroti sector pertanian kita yang gencar diluluhlantakkan oleh kebijakan pemerintah yang salah.
Indonesia tanpa petani ! Kalimat ini terkesan vulgar. Bahkan bombastis dan terkesan mengada-ada. Pertanyaan pun muncul : mungkinkah ? Jawaban nya tegas : mungkin tapi sekaligus tidak. Pelaksana Tugas Direktur Pembangunan Daerah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Mia Amalia memperkirakan lambat laun profesi petani akan menghilang dan sudah tidak ada pada 2063.
Logika berpikir pejabat Bappenas diatas, tentu dapat dipahami. Hal tersebut dikarenakan para pekerja di sektor pertanian semakin lama turun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 rasio pekerja Indonesia dalam bidang pertanian mencapai hingga 65,8% dari total jumlah pekerja. Tapi lambat laun jumlahnya pada 2019 hanya sekitar 28% saja. Selama 43 tahun terjadi penurunan sebesar 37,8 %.
Pekerja dari sektor pertanian berangsur beralih ke sektor lainnya. Seperti yang terlihat dari sektor jasa yang pada tahun 1976 hanya 23,57% menjadi 48,91% di 2019. Adapun pekerja dari sektor industri juga meningkat yang semula hanya 8,86% di tahun 1976 menjadi 22,45% di 2019. Transformasi struktural dari sektor pertanian ke industri atau jasa berlangsung secara signifikan.
Data lain juga mengungkapkan, tidak hanya faktor masyarakat yang mulai beralih dari sektor pertanian ke industri, tapi juga dipengaruhi oleh makin menyusutnya lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, dalam beberapa dasa warsa yang lalu, menjadi masalah serius dalam pembangunan pertanian.
Sekalipun dalam 12 tahun lalu, kita telah melahirkan Undang Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun alih fungsi lahan tetap berlangsung. Inilah yang membuat kita nelangsa. UU dibuat tentu untuk mengatur agar alih fungsi tidak terus berlangsung. Fakta nya seiring dengan terbit nya UU maka alih fungsi pun menjadi semakin besar jumlah nya.
Hal ini terjadi bisa saja karena gelombang urbanisasi mempercepat alih fungsi lahan menjadi hunian perkotaan.
Dalam waktu 6 tahun saja, lahan pertanian telah menyusut 300.000 hektar. Yaitu dari 7,75 juta hektar di 2013 menjadi 7,45 juta hektar di 2019. Penyusutan akan diperkirakan semakin cepat terjadi. Karena pada 2045 penduduk yang tinggal di perkotaan akan diperkirakan mencapai 67,1 % atau 68,3 juta orang.
Aneh bin ajaib. Negeri agraris tanpa petani. Kalau pejabat Bappenas diatas telah menyodorkan beragam data yang memperkuat hilang nya petani dari pentas pembangunan, sebetul nya kita juga bisa membuat argumen agar petani tetap berada di tanah merdeka ini. Pertanyaan nya adalah langkah apa yang sebaik nya kita tempuh agar petani tetap memiliki peran penting dalam perjalanan pembangunan itu sendiri.
Regulasi setingkat Undang Undang untuk melindungi petani, sesungguh nya telah kita miliki sekitar 8 tahun lalu, sekali pun Peraturan Pemerintah nya belum seluruh nya diturunkan. Kita sendiri tidak tahu persis, mengapa Pemerintah masih belum berkenan untuk melahirkan PP tersebut. Padahal, PP ini sangat penting untuk ditindak-lanjuti oleh Perda atau Pergub/Perbup/Perwal di daerah.
Arti nya, Pemerintah sendiri terkesan setengah hati dalam melakukan pemberdayaan, pemartabatan, perlindungan dan pembelaan terhadap. Kita paham betul, apalah arti sebuah UU bila tidak diikuti oleh turunan regulasi selanjut nya. Belum lagi dengan kehadiran UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang didalam nya memuat beberapa ayat terkait dengan nasib dan kehidupan petani.
Lalu soal alih fungsi yang menyebabkan lahan pertanian kita makin menyusut. Untuk mengantisipasi hal yang demikian, sebetul nya kita telah melahirkan regulasi setingkat UU pula. Sekutar 12 tahun lalu, kita telah membuat UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan yang Berkelanjutan.
Judul ini merupakan kompromi antara Pemerintah dan para pemangku kepentingan. Sebab, pada saat penyusunan Naskah Akademik, berkembang perdebatan yang cukup hangat dan bergairah terkait judul UU ini. Salah satu nya ada yang mengusulkan agar judul UU ini diberi nama UU Lahan Abadi.
Pertanyaan nya adalah mengapa setelah kita memiliki UU yang mengatur alih fungsi lahan pertanian, justru proses alih fungsi nya semakin membesar jumlah nya. Itu pun kalau tidak mau disebut, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian menjadi semakin membabi-buta. Sejak 2013 hungga 2019, terjadi penyusutan lahan sekitar 300 ribu hektar.
Apa yang dapat kita petik dari ke dua fenomena diatas ? Dari sisi regulasi setingkat UU terkait petani dan lahan pertanian, terekam sudah maksimal. Yang belum adalah turunan regulasi nya. Ini sebetul nya yang harus dikawal dengan baik. Kita harus cermati bagaimana penerapan Peraturan Daerah di lapangan. Apakah dijalankan dengan konsekwen atau dimodifikasi untuk kepentingan yang lain ?
Kata keberpihakan menjadi kata kunci guna melestarikan petani. Pemerintah benar-benar dituntut untuk membangun mind-set baru soal petani. Kesan bahwa profesi petani tidak menjanjikan, sudah saat nya dirubah dengan ungkapan yang lebih mengandung harapan. Ke depan kita butuh petani pengusaha dan bukan lago sekedar petani subsisten. Muncul nya istilah Petani Milenial, diharapkan bakal mampu merangsang kaum muda untuk menggeluti dunia pertanian.
Andaikan langkah-langkah lain yang lebih cerdas dapat kita wujudkan, mesti nya pernyataan Indonesia Tanpa Petani di tahun 2063 nanti, tidak perlu kita risaukan. Resiko negeri agraris, pasti harus ada petani. Yang mungkin hilang adalah mind-set petani masa lalu untuk kemudian digantikan dengan mind-set petani masa kini dan mendatang. Kita optimis, kualifikasi petani seperti itulah yang akan hadir di tahun 2063 nanti. (DJP)
Discussion about this post