Daily News|Jakarta – Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan DPR dan pemerintah. Pada 16 Oktober 2016, regulasi Lembaga Antirasuah tersebut akan berlaku.
Akan tetapi, sejumlah pihak masih mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu KPK. Cara-cara tersebut sangat tidak tepat. Sebab, Indonesia merupakan negara hukum. “Bernegara itu kan punya aturan,” kata politisi Partai Golkar, Firman Subagyo, Minggu (13/10).
“Aturannya adalah aturan hukum, itu lah bentuk kehadiran negara untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan masalah tata kelola pemerintahan dan negara. Tidak bisa menggunakan pola-pola penekanan-penekanan yang di luar sistem.”
Menurut Firman, penekanan itu jika dituruti akan menjadi preseden buruk. “Akan menjadi parlemen jalanan. Oleh karena itu daripada koridor konstitusi itu adalah menggugat di Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Firman.
Penekanan sejumlah elemen kepada Presiden mengeluarkan perppu juga tidak tidak dibenarkan konstitusi. “Kalau semuanya kemudian diobrak-abrik dengan cara tekanan-tekanan demo-demo begini, ya tentunya tidak tepat, ini akan merusak sistem demokrasi kita,” ucap Firman.
Firman pun menyebut, “Koridornya adalah silakan nanti ketika sudah 30 hari, otomatis jadi undang-undang, maka silakan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Presiden kan juga dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan undang-undang KPK ini kan ada masukan-masukan dari rakyat.”
Di sisi lain, mantan anggota Badan Legislasi DPR tersebut menjelaskan, keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK sangat penting. Izin penyadapan dari Dewas suatu keniscayaan. Dengan begitu fungsi penyadapan KPK tidak dijadikan alat politik.
“Contohnya ketika (mantan ketua KPK) Abraham Samad melakukan penyadapan Pak Budi Gunawan, ternyata kan dia (Abraham) punya interest (kepentingan) mau jadi wapres (wakil presiden). Ketika dia enggak jadi wapres, maka sadapannya Pak Budi dibuka kemana mana. Nah ini yang enggak boleh,” pungkas Firman.
Discussion about this post