Daily News|Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, dari Fraksi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan menegaskan, revisi UU KPK (Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi) bukan berdasarkan pesanan kelompok pro-koruptor. Bukan juga diniatkan untuk melemahkan KPK RI.
Demikian ditegaskan Arteria menjawab pertanyaan wartawan terkait rencana Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2019). Peraraturan Presiden Pengganti Undang-undang ini dinilai sejumlah pihak dapat mengakhiri polemik UU KPK hasil revisi.
Pihaknya menghormati rencana Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam terkait hal ini, juga dikabarkan telah membentuk tim khusus yang akan mencermati rencana tersebut.
“Kami minta DPR, juga dilibatkan. Jadi juga tahu historikal dan suasana kebatinan kami ketika membentuk UU KPK. Minimal presidennya tidak gamang. Minimal yang di sekeliling presiden bisa tahu juga yang kami lakukan itu sama sekali tidak ada keberpihakan kami untuk melemahkan KPK,” ujar Arteria.
Arteria mengatakan, pihaknya telah mengetahui wacana Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK. DPR RI juga maklum, bahwa Perppu merupakan domain Presiden dan menghargai hal tersebut.
“Apapun itu kami hormati sikap Pak Presiden Jokowi. (DPR RI) sudah bertemu, kemudian hasil pertemuan juga mewacanakan Perppu. Terkait penerbitan Perppu (KPK), kita ini taat azas. DPR ini yang paling matang berdemokrasi, tahu aturan main. Memang hukumnya mengatakan secara konstitusional itu domain dan kewenangannya Pak Presiden. Jadi ya monggo saja,” imbuhnya.
Politisi PDI Perjuangan ini mengingatkan, bahwa Indonesia, negara hukum. Sekalipun, Pasal (22), Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: ‘Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang’. Namun, itu tidak menjadikan parameter independen.
“Artinya apa? Sekalipun itu menjadi subjektivitas presiden, kita punya putusan MK 2009 yang dikuatkan putusan MK 2014 yang dikatakan bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa itu jelas ada tiga hal,” tuturnya.
Arteria menjelaskan, maksud ‘keadaan memaksa’ itu, kalau memang kekosongan Undang-undang untuk menyelesaikan masalah hukum yang dibutuhkan dalam tempo cepat. “Sekarang UU-nya hadir, UU KPK. Ditambah dengan revisi UU. Apa yang ketiadaan UU, kekosongan hukum apa yang terjadi? Kan sama sekali tidak ada,” tegas Arteria.
Jika, aksi demonstrasi penolakan UU KPK hasil revisi oleh mahasiswa dikategorikan sebagai suatu ‘kegentingan memaksa’, itu jauh sekali dari pemenuhan unsur. Sebab, menurut Arteria, situasi tersebut, tidak mengganggu roda pemerintahan.
“Yang harus diperhatikan jalannya pemerintahan masih stabil, penegakan hukum masih lancar, KPK juga dapat melaksanakan fungsinya tanpa ada halangan. Terakhir Pak Menpora (Imam Nahrawi) pun dilakukan upaya penegakan hukum, upaya paksa dan ditahan. Apa yang menjadikan itu sebagai alasan perppu?,” tanya Arteria.
Dia juga mengingatkan Presiden Jokowi tidak sampai terjebak melakukan tindakan inkonstutusional dengan meneribtkan Perppu KPK. “Walau Perppu memang hak konstitusional, tapi ada legal basisnya. Ada rasio legislasinya yang harus juga dipenuhi. Pertanyaannya apakah kondisi objektif saat ini mewajibkan seorang presiden untuk menerbitkan Perppu?,” kata Arteria, Anggota Komisi III DPR RI. (Hasbi/Ant).