Daily News|Jakarta –Kasus-kasus represi di dunia maya terhadap para pengkritik pemerintah atau aparat diduga terkait dengan pendengung atau buzzeRp. Meski tak bisa dibuktikan, pembelaannya yang membabi-buta erat dengan elite-elite tertentu. Demokrasi pun terancam mati akibat cara-cara itu.
Stand-up komedian Bintang Emon diduga mendapat serangan di media sosial usai
Novel Baswedan melalui tayangan video.
Dalam video yang diunggah ke akun medsos pribadinya, Bintang menyindir alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara pada terdakwa penyiram Novel. Ia mempertanyakan alasan penyiraman air keras yang tidak sengaja namun justru mengenai mata Novel.
Imbasnya, muncul serangan di medsos pada Senin (15/6) kemarin berupa meme berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme itu diunggah sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam, menuding Komika itu mengonsumsi sabu.
Peristiwa itu sontak mengundang reaksi dari warganet. Bintang pun sempat mengunci sejumlah akun medsosnya, meski belakangan telah dibuka kembali.
Buntut dari peristiwa tersebut, DPR meminta pemerintah turun tangan menertibkan buzzeRp yang diduga menyerang Bintang. Sebagai warga negara, Bintang dinilai tak boleh mendapat ancaman hanya karena mengkritik pemerintah.
Tak cuma Bintang, serangan berupa peretasan akun medsos juga sempat menimpa sejumlah aktivis secara masif. Terutama mereka yang selama ini vokal mengkritik RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Korban peretasan yang dimaksud antara lain Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Fajar Adi Nugroho, dan peneliti SAFENet Damar Juniarto.
Terbaru, akun instagram YLBHI juga diduga diretas lantaran admin tak dapat masuk sendiri ke akunnya. Tak hanya itu, masih banyak kasus-kasus kriminalisasi aktivis pengkritik pemerintah yang diduga lewat represi di dunia maya lainnya.
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Wasisto Jati menilai keberadaan buzzeRp yang menyerang akun medsos belakangan ini telah mencederai demokrasi di Indonesia. Serangan umumnya menimpa mereka yang mengkritik pemerintah.
Padahal, menurut Wasisto, medsos merupakan ruang publik terbuka yang membebaskan setiap orang untuk mengunggah atau berkomentar terhadap suatu peristiwa, termasuk pada pemerintah.
“Saya rasa buzzeRp ini telah merusak demokrasi. Hadirnya medsos kan sebagai ruang publik baru, semua orang mestinya bisa komentar, posting, like, love. Tapi adanya buzzer ini membuat mereka seolah menjadi polisi siber,” ujar Wasisto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (15/6).
Wasisto mengatakan kemunculan akun buzzer ini merupakan bentuk ekspresi masyarakat yang semakin partisan pada sosok atau figur yang dipuja. Tak heran jika akun-akun tersebut kemudian menunjukkan sikap defensif agar tak ada kritikan yang ‘melukai’ pada sosok yang mereka puja.
Dalam iklim demokrasi, lanjut Wasisto, keberadaan buzzer itu menunjukkan dua hal penting. Pertama, kualitas demokrasi yang semakin turun karena tak ada lagi debat terbuka tentang suatu isu. Kedua, demokrasi yang semakin kompetitif.
“Karena masyarakat sadar dan punya nilai-nilai sendiri yang ingin diperjuangkan,” tuturnya.
Lebih lanjut, peneliti yang tengah menempuh pendidikan magister di Australia ini menilai, keberadaan para buzzer tersebut juga sangat mengganggu karena kerap kali mereka tak memahami substansi yang dikritik. Akibatnya, serangan yang muncul cenderung destruktif.
“Peran buzzer ini makin lama makin ekspresif tapi tidak kritis konstruktif, justru destruktif. Ini sangat menggangu karena mereka tidak tahu konten atau substansi apa yang dikritik,” ucap Wasisto. (DJP)
Discussion about this post