Daily News|Jakarta –Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo menilai luapan emosi Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini melalui sujud ke kaki dokter, kemarin memungkinkan demi meraih dukungan dan simpati publik. Terlepas dari itu, Suko mengingatkan tentang kematangan psikologi bagi seorang pemimpin.
“Dalam komunikasi politik, (yang dilakukan Risma) ini kan mencari dukungan, mencari simpati,” kata Suko, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (30/6).
Namun demikian, Suko mengaku tak ingin berspekulasi terlalu jauh soal tujuan politik dari apa yang dilakukan Risma tersebut. Namun Suko menggarisbawahi, belum tentu apa yang dilakukan Risma menimbulkan persepsi baik di mata masyarakat.
“Dua kemungkinan, orang bisa simpati, bisa antipati. Yang pendukungnya akan push bela mati-matian, yang anti akan sebaliknya,” ujarnya.
Suko mengatakan pembelahan terhadap reaksi masyarakat terjadi sejak internet dan sosial media meledak. Masyarakat, kata dia, akan menunjukkan perilaku selebrasi terhadap apa yang ia suka maupun yang tidak.
“Seorang pemimpin disyaratkan memiliki kapasitas, kompetensi, dan komitmen terdepan serta integritas yang tinggi. Memimpin adalah tindakan rasional. Memang ‘hati’ dan empati ditunjukkan dalam kebijakan, bukan emosi,” komentar netizen.
Emosional hanya menumbujkan persepsi negatif. Karena itu, dalam upaya menghilangkan persepsi negatif adalah dengan memiliki kematangan psikologi dan kematangan komunikasi yang baik.
“Seorang pemimpin harusnya berada pada kematangan psikologi, kematangan komunikasi,” kata Suko.
Menurut Suko, apa yang dilakukan Risma merupakan ekspresi dari bentuk emosinya. Ekspresi serupa adakalanya menghasilkan efek positif, hanya jangan berlebihan.
“Ini bedanya, Risma terlihat lebih emosional.”
“Menurut saya, Risma ini memang lelah. Bu Risma membutuhkan dukungan dari timnya. Kayak Pak Jokowi kan terlihat emosi sekali, sama kasusnya sebetulnya,” kata dia.
Apa yang dilakukan oleh Risma kata Suko, adalah cerminan dari situasi yang dihadapinya sekarang. Yakni kelelahan akibat tekanan, dan penanganan kasus corona di Surabaya.
“Risma mungkin sedang mengalami kelelahan, karena tekanan sana-sini, maka sampai segitunya. Caranya, Risma ya harus membagi beban, jangan menanggung beban sendiri. Jangan merasa bersalah, jangan merasa menanggung sendiri,” katanya.
Kendati demikian, Risma sebaiknya bisa lebih bijak dan tak terlalu jauh meletakkan perasaan emosionalnya, ke dalam komunikasi publik.
“Sebagai pimpinan seharusnya tidak meletakkan perasaan emosional dalam komunikasi publiknya,” ujarnya.
Risma, kata Suko, adalah tokoh yang memiliki potensi besar. Namun hal itu harus juga diiringi dengan manajemen komunikasi politik dan publik yang baik.
“Risma itu adalah sosok yang pekerja keras, punya tanggung jawab tinggi, dia bekerja luar biasa, keadaan lelah pun tetap kerja luar biasa, karena itu harus dibantu oleh tim yang bisa membangun komunikasinya,” kata dia. (DJP)
Discussion about this post