Daily News|Jakarta – Polarisasi atau pembagian dua kelompok masyarakat yang berlawanan dinilai akan tetap menguat meskipun Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kini bergabung dalam kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pertarungan sengit mereka pada Pilpres 2019 berujung terbelahnya masyarakat Indonesia hingga muncul istilah ‘cebong-kampret’.
Cebong istilah untuk pendukung Jokowi, sementara kampret disematkan kepada fans Prabowo.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo mengatakan polarisasi di tengah masyarakat tak akan hilang sekalipun Prabowo dan Sandiaga sudah masuk dalam barisan Jokowi.
Prabowo lebih dahulu bergabung setelah diangkat sebagai menteri pertahanan, sedangkan Sandiaga baru kemarin dilantik menjadi menteri pariwisata dan ekonomi kreatif.
Bergabungnya seteru Jokowi, Prabowo dan Sandiaga, ke. Dalam cabinet sempat menggelitik netizen dengan menjuluki Menteri-menteri di kabinet sebagai: Mencekam, alias Menteri Cebong dan Kamprest.
“Polarisasi politik di Indonesia bukan berdasarkan partai, atau berdasarkan tokoh. Jadi kalaupun tokohnya melebur, polarisasi tetap ada,” kata Kunto saat dihubungi CNNIndonesia, Rabu (23/12).
Kunto mengatakan istilah ‘cebong-kampret’ pada Pilpres 2019 tetap eksis hingga hari ini. Istilah tersebut kini berubah menjadi ‘kadrun-togog’.
Menurut Kunto, kondisi tersebut membuktikan bahwa polarisasi akan tetap ada. Ia menyebut pendukung Prabowo sendiri akan mencari sosok baru untuk disokong lantaran mantan Danjen Kopassus itu sudah masuk gerbong Jokowi.
Kunto mengatakan tokoh baru yang didukung tersebut kemudian akan muncul mewakili identitas mereka. Identitas itu sangat beragam dan tak melulu soal agama, etnis, dan suku.
Lebih lanjut, Kunto menyebut polarisasi yang terjadi di tanah air cenderung muncul dengan wujud polarisasi afektif. Kondisi tersebut kemudian melahirkan kecenderungan pihak yang merasa paling benar, sementara yang berada di sisi lain dinilai salah.
“Polarisasi di Indonesia itu polarisasi afektif yang berdasarkan perasaan, lebih emosional. Karena sudah terpolarisasi secara kelompok, identitas kelompok yang sudah dimunculkan akhirnya memproduksi terus menerus,” ujarnya.
Kunto mengatakan polarisasi afektif ini berbahaya bila terus terjadi di tengah masyarakat. Polarisasi afektif mampu membuat bangsa gagal dalam mengidentifikasi isu kebangsaan yang lebih penting.
Menurutnya, perhatian publik akan cenderung mengerucut pada isu-isu yang hanya relevan dengan identitas mereka masing-masing.
“Jadi ini akhirnya memuncak, orang akhirnya punya identitas kelompok baru,” kata Kunto. (DJP)
Discussion about this post