Daily News|Jakarta – Terdakwa kepemilikan senjata api ilegal Mayjen (Purn) Kivlan Zen meminta operasi kakinya ditunda agar tak mengganggu jalannya sidang.
Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat mengatakan seharusnya dia menjalani operasi kaki di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Namun Kivlan tak mau penyembuhan kaki dan organ tubuhnya yang lain menghambat proses persidangan.
“Saya ingin ini cepat selesai. Saya tidak (bisa) beraktivitas untuk yang lain. Kalau ini selesai saya lebih senang. Jadi saya tanya, pak dokter bisa tidak ditunda?” tanya Kivlan di dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 3 Oktober 2019.
Pertanyaan itu diajukan Kivlan kepada dokter RSPAD Gatot Subroto, Robert, yang menghadiri sidang hari ini.
RSPAD Gatot Subroto sebelumnya menilai, Kivlan perlu menjalani operasi pengangkatan serpihan granat di kakinya. Hakim juga sudah menerima surat dari rumah sakit bahwa Kivlan meminta untuk dilakukan operasi pengangkatan corpus alienum.
Robert menyebut berlanjut atau tidaknya operasi merupakan keputusan Kivlan. Pihak rumah sakit akan mengikuti kemauan pasien.
“Kalau minta ditunda, kami tunda. Pikiran kami nanti beliau di persidangan tidak menderita. Tapi beliau minta itu, kami lebih menghargai pasiennya,” ujar Robert.
Hari ini Kivlan diagendakan menjalani sidang pembacaan pembelaan alias eksepsi. Akan tetapi, sidang ditunda lantaran persoalan legalitas kuasa hukum Kivlan, Tonin Tachta, belum beres. Hakim ketua, Hariono, menilai permasalahan tersebut perlu dituntaskan terlebih dulu sebelum melanjutkan proses persidangan.
Karena itu juga, Hariono menyarankan agar Kivlan tetap menjalani pengobatan di RSPAD Gatot Subroto sembari menunggu persoalan legalitas penasihat hukumnya selesai. “Saya maklum bapak merasa berlarut-larut. Ini harus diselesaikan terlebih dulu. Jadi sebaiknya bapak juga mengikuti saran dokter,” papar dia.
Kivlan Zen didakwa atas kasus kepemilikan senjata api ilegal. Dia dianggap melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 atau juncto 56 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (M Hasbi/14).