Daily News|Jakarta – Pakar Zaenal Abidin Riam, Pengamat Kebijakan Publik di Demokrasiana Institute menganalisis betapa besarnya pengaruh oligarki ekonomi dalam menguasai perpolitikan di tanah air.
“Tahun 2020 baru saja berlalu, ragam peristiwa terjadi di dalamnya, dan 2020 menjadi saksi betapa kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan drastis,” tulisnya di awal.
Konsolidasi masyarakat sipil mengalami pelemahan. Sebaliknya, kekuatan oligarki semakin mapan. Oligarki mampu mengonsolidasikan diri dengan baik, dan menguatnya kekuatan oligarki bukan kabar baik bagi demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah, khususnya pasca 1998.
Konsolidasi oligarki yang semakin mapan menandakan Negara semakin jatuh ke dalam cengkeraman segelintir orang yang bertindak berdasarkan kuasa kepentingan. Mereka umumnya berasal dari latar belakang pebisnis hitam dan lingkaran kecil elite keluarga di lingkungan kekuasaan.
Menguatnya oligarki ditandai dengan disahkannnya beberapa regulasi yang sarat dengan kepentingan oligarki, di antaranya revisi UU KPK. UU ini bahkan digodok secara diam-diam.
Hasilnya, beberapa kewenangan KPK berhasil dipreteli. Ini tentu kabar baik bagi oligarki, kewenangan kuat yang dimiliki KPK merupakan ancaman nyata bagi oligarki, sangat wajar bila mereka bersekongkol dengan legislatif melakukan operasi senyap terhadap lembaga antirasuah.
Kemenangan oligarki juga terlihat dalam perubahan UU Minerba dan UU MK, serta yang terkini adalah disahkannnya omnibus law. Omnibus law merupakan kemenangan terbesar oligarki di tahun 2020, campur tangan oligarki dalam pembahasan omnibus law terang terlihat, susunan panitia kerja omnibus law berafiliasi dengan perusahaan tertentu, ditambah lagi dengan anggota satuan tugas omnibus law yang diisi oleh beberapa pengusaha ternama.
Artinya, konflik kepentingan tidak bisa dihindarkan, omnibus law yang punya maksud baik menyederhanakan regulasi justru tersandera oleh kepentingan oligarki.
Keberhasilan konsolidasi oligarki juga terlihat dengan masifnya serangan terhadap pengkritik kekuasaan. Serangan tersebut bukan hanya terjadi secara fisik, akan tetapi juga terjadi di ranah media sosial. Akun yang vokal mengkritik penguasa mengalami peretasan.
Tidak berhenti sampai di situ, akun buzzer pendukung penguasa aktif melakukan serangan terhadap individu atau kelompok yang mengoreksi kekuasaan.
Serangan para buzzer ini sangat sistematis dan terarah, cenderung nampak mereka dikomandoi oleh pihak tertentu.
Para buzzer juga aktif mempropagandakan kebijakan pemerintah di media sosial, misalnya dengan memviralkan hingga menjadi trending topic di twitter isu omnibus law, isinya menggiring opini seolah omnibus law tidak punya celah kekurangan sedikitpun, ini bentuk penyesatan opini karena di lapangan aksi penolakan terhadap omnibus law justru terjadi secara massif.
Menguatnya konsolidasi oligarki harus dilawan, caranya, masyarakat sipil harus mengkonsolidasikan diri dengan lebih baik. Masyarakat sipil harus melakukan konsoliadasi ulang, memastikan posisi mereka tidak lemah seperti sekarang.
Simpul perjuangan masyarakat sipil harus dikuatkan kembali. Konsolidasi tersebut mesti melibatkan masyarakat sipil dari ragam latar belakang, seperti mahasiswa, NGO, tokoh agama, dan ormas yang peduli pada perubahan.
Konsolidasi masyarakat sipil tidak boleh lagi dilakukan hanya dengan latar belakang tunggal. Power-nya akan lemah sehingga gampang dipatahkan, penguatan kembali konsolidasi masyarakat sipil terbilang urgen demi mencegah negara berubah bentuk menjadi negara kekuasaan, masyarakat sipil harus memastikan bahwa demokrasi tidak dikorupsi oleh oligarki. (HMP)
Discussion about this post