Daily News|Jakarta – Dr. Dhimam Abror Djuraid menulis tentang koinsiden antara kudeta militer pecah di Myanmar dan kudeta politik yang menimpa Partai Demokrat, di Indonesia, dan perbedaan di antara keduanya.
“Di Myanmar, subuh-subuh dinihari tentara menggerebek rumah pemimpin sipil dan melakukan penahanan. Di Indonesia operasi kudeta berlangsung senyap, tanpa penggerebekan, dan tanpa penahanan. Gerakan kudeta itu dilakukan diam-diam untuk mendongkel kepemimpinan Partai Demokrat dan menggantinya dengan pimpinan yang bisa dikendalikan pemerintah,” tulis Dhimam membuka analisisnya.
Setidaknya, begitulah skenario kudeta yang dibongkar oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ketua umum Partai Demokrat. Tidak main-main, kudeta ini adalah kudeta tingkat tinggi yang melibatkan eliter partai, seorang menteri, dan mendapat restu langsung dari Istana.
Di Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin operasi dan menahan Sung San Suu Kyi pendiri partai NLD (National League for Democracy) yang baru memenangkan pemilihan umum. Aung Hlaing menganggap pemilu itu direkayasa dan penuh manipulasi, dan karenanya hasilnya dianggap tidak sah dan pemerintah hasil pemilu harus dibubarkan.
Di Indonesia tidak ada keterlibatan langsung oleh tentara dalam kudeta yang diungkap AHY. Tapi, gegara Jenderal Moeldoko main sumbu pendek dan langsung bereaksi terhadap tudingan AHY maka kudeta itu pun dikait-kaitkan dengan semacam operasi militer, atau paling tidak, melibatkan intelijen militer.
AHY bukan parno. Ia memang patut waspada. Pola-pola kudeta dalam bentuk pengambilalihan paksa bukan suatu ilusi khayalan dalam lanskap politik di Indonesia akhir-akhir ini. Modus yang dipakai cukup rapi dengan tetap memakai prosedur aturan partai, misalnya melalui kongres atau kongres luar biasa.
Penetrasi yang dilakukan cukup halus dan disiapkan dengan strategi yang tertata rapi termasuk dukungan logistik yang memadai.
“Apa yang dialami oleh Partai Amanat Nasional (PAN) bisa menjadi pelajaran yang patut diwaspadai oleh AHY dan elite Partai Demokrat, terutama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). PAN lahir dari gerakan reformasi dan didirikan oleh salah satu bidan reformasi, Amien Rais,” tulisnya.
Dalam perjalanannya partai ini berusaha konsisten dengan amanat reformasi dan memilih jalan berseberangan dengan pemerintahan Jokowi yang oleh Amien Rais dianggap tidak konsisten dengan amanat reformasi dan nilai-nilai demokrasi. Yang terjadi kemudian adalah perpecahan dan kekacauan di tubuh partai yang berujung tarung kekuasaan antar-elite partai.
Kongres partai di Kendari tahun lalu ribut, ricuh, sampai saling lempar kursi antar-sesama peserta kongres. Kalau di partai lain kursi jadi rebutan, di PAN kursi malah dilempar-lempar.
Persaingan terbuka tidak terhindarkan lagi. Antar besan saling bermusuhan, antar-saudara kandung, kakak-beradik, saling berebut kekuasaan, anak dengan bapak juga saling menyingkirkan.
“Pada akhirnya kekuatan yang didukung oleh kekuatan yang lebih rapi dan terorganisasi secara rapi yang memenangkan perebutan kekuasaan. Amien Rais harus rela tersingkir dari partai yang dibentuknya. Meskipun tidak terungkap secara jelas di permukaan tetapi sangat terasa adanya keterlibatan kekuatan besar dalam kongres itu.”
“Amien Rais yang sangat mengakar di kalangan akar rumput partai bisa dicerabut dengan paksa. Hal yang sama tidak mustahil terjadi pada SBY maupun AHY. Skenario yang kurang lebih sama bisa saja terjadi pada Partai Demokrat. Perang keluarga seperti yang terjadi pada PAN tidak mustahil terjadi pada Demokrat.”
Sebagai mantan militer AHY mungkin mencium gelagat kudeta itu. Ia melempar sinyalemen ini kepada publik untuk meredam pergerakan kudeta itu. AHY memperoleh momentum yang tepat karena bersamaan dengan kudeta Myanmar.
Tentu beda antara kudeta Myanmar dan ķudeta yang ditengarai oleh AHY. Kudeta Myanmar melibatkan Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin militer yang punya rapot merah dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia. Dialah tokoh di balik penolakan hasil pemilu demokratis yang dimenangkan Partai NLD (National League for Democracy) bentukan Aung San Suu Kyi.
“Rekam jejak hak asasi manusia Aung Hlaing sangat mengerikan. Dia dianggap sebagai arsitek operasi ethnic cleansing, pembersihan etnis, terhadap warga Myanmar muslim Rohingya di wilayah Rakhine. Ratusan ribu muslim dibunuh, dibakar hidup-hidup, termasuk anak-anak dan bayi. Wanita-wanita diperkosa sebelum dibunuh. Kekejaman Aung Hlaing dikecam dunia, tapi dia masih belum tersentuh oleh pengadilan internasional.”
“Wajah militer Myanmar adalah tampang junta militer despotik gaya lama yang haus darah, haus kekuasaan, dan antidemokrasi. Cara kerjanya masih mempraktikkan operasi militer dan intelijen gaya lama dengan mempergunakan kekuatan tentara secara, menyiksa, memata-matai, mengintimidasi, menculik, dan membunuh,” catat Dhimam.
“Gaya militer seperti ini banyak bermunculan pada era-era 1970-an di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Ketika itu militer di bawah Jendera Soeharto mematahkan kekuatan komunis dan kemudian mengambil alih kekuasaan dengan membentuk pemerintahan otoriter yang bertahan selama 32 tahun.”
Pemerintahan despotik Soeharto memenjarakan aktivis politik dan membubarkan partai politik secara paksa, kemudian membentuk partai baru yang menjadi boneka pendukung pemerintah. Tentara memainkan peran dominan di bidang politik dan sosial melalui doktrin buatan dwi fungsi yang memberi keleluasaan tentara untuk menjarah ranah sipil.
Setelah otoritarianisme Orde Baru jatuh oleh gerakan reformasi mahasiswa, militer dipaksa untuk melepas untuk melepas fungsi ganda itu dan kembali ke barak menjadi prajurit profesional. Fungsi utama tentara sebagai kekuatan pertahanan diperkuat dan fungsi politiknya dipreteli.
“Keterlibatan militer dalam politik praktis bisa diredam. Ketika SBY menjadi presiden pada 2004-2010 komitmennya terhadap demokrasi, supremasi sipil, dan penegakan hukum, rule of law, banyak menuai pujian,” catat Dhimam.
“SBY dianggap berhasil melakukan transformasi dari seorang jenderal militer menjadi pemimpin sipil yang demokrtis, meskipun dalam banyak hal ia dianggap peragu dan tidak tegas.”
Gaya kepemimpinan militer seperti ini disebut sebagai despotisme kuno, the old despotism, yang sudah tidak terpakai lagi.
“Yang muncul sebagai pengganti adalah kekuasaan militer yang menyusup secara halus kedalam pemerintahan sipil dan mengendalikannya secara rapi. Militer memasukkan orang-orang ke dalam pemerintahan sipil, berkolaborasi dengan pemimpin parpol, pemilik modal dan pengelola media untuk memunculkan oligarki yang kokoh.”
Fenomena baru itu diungkap oleh ahli politik Amerika Serikat, John Keane dalam “The New Depotism” (2020). Ia menggambarkan ciri-ciri despotisme baru yang beda banget dengan despotisme jaman old.
“Gaya pamer kekuatan, petentang-petentang seperti militer Myanmar itu oleh Keane dianggap bagian dari The Old Despotism yang sudah ketinggalan zaman. Rezim pamer otot dan pamer bedil di Myanmar tidak bisa berumur panjang karena akan dikecam dan diisolasi oleh dunia internasional.”
Kekuatan despotisme lama sekarang mengalami metamorfosa menjadi despotisme baru yang lebih canggih dan tahan lama. Semua prosedur demokrasi dijalankan sesuai dengan standar. Ada pemilu yang dilakukan secara berkala. Ada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif yang berfungsi sesuai dengan tupoksinya.
“Despotisme baru tidak memberangus partai politik, tapi cukup merangkulnya menjadi bagian dari pendukung kekuasaan. Pemimpin parpol tidak digerebek dan ditahan seperti di Myanmar. Para pemimpin parpol di era despotisme baru dimanja dan diberi banyak privilege dengan cara-cara yang halus dan elegan.”
Despotisme baru “ngelurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”, menyerbu tanpa pasukan dan menang tanpa merendahkan. Despotisme baru sangat pro-rakyat, wong cilik, dan kebijakan-kebijakannya ditujukan untuk menyejahterakan rakyat melalui pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Dengan pembangunan yang masif rakyat akan dibikin lupa akan hak-hak demokratisnya.
“Ketika perut sudah kenyang dan hidup sudah mapan tidak ada yang peduli dengan demokrasi. Itulah yang terjadi di Singapura, dan itulah yang sekarang tengah dilakukan oleh China. Kelas menengah, bagian utama civil society yang menjadi tulang punggung demokrasi, dibikin semakin makmur untuk meredam hak-hak demokrasinya.”
Despotisme baru menjalin koalisi permanen dengan parpol yang didukung oleh pemilik modal kuat, pemimpin agama, dan juga pemilik media. Para pemilik modal diberi akses besar terhadap proyek-proyek negara sehingga menjadi oligarki yang sangat kuat. Oligarki ini kemudian menjalin hubungan kuat dengan partai politik, dan bahkan mendirikan partai politik sendiri. Paduan antara para bohir dan parpol ini melahirkan “poligarki”, politisi oligarki, menguasai uang dan kekuasaan politik.
“Modal kekuatan utama new despotism adalah resource yang nyaris tak terbatas dalam bentuk anggaran dan kekayaan sumber daya alam yang dibagi-bagikan kepada oligarki dan poligarki. Pemimpin despot baru juga suka bagi-bagi kekuasaan dan jabatan yang bisa dibikin sebanyak mungkin untuk menampung koalisi. Jabatan menteri dan wakil menteri bisa dibuat sebanyak mungkin untuk mengakomodasi koalisi.”
“Media memainkan peran yang sangat dominan dalam operasionalisasi rezim despotisme baru. Fungsi media sebagai watch dog, anjing penjaga, digeser menjadi laps dog, anjing pangkuan, untuk hiasan dan lucu-lucuan. Media mainstream ditundukkan dan media sosial dipenuhi dengan buzzer dan influencer untuk mempertahankan rezim dan mendiskreditkan kritikus pemerintah.”
John Keane mengingatkan bahwa despotisme baru bukan berwujud dalam personifikasi seorang pemimpin tapi dalam sebuah sistem. Itulah yang menjadi inti perbedaan despotisme lama dengan yang baru. Despotisme lama bertumpu pada satu orang seperi Soeharto, Marcos, atau Pol Pot. Ketika dia jatuh maka rezim despotnya ikut runtuh.
“Despotisme baru bertumpu pada sistem yang sudah tertata rapi oleh para poligark. Unsur-unsur militer, polisi, politisi, bohir, agamawan, dan media bersepakat untuk mempertahankan despotisme baru dengan menjadikan legitimasi rakyat sebagai penopangnya.”
“Maka pemilu dibikin seolah-olah demokratis dan jujur untuk memperoleh legitimasi rakyat. Rezim despot baru bisa mendapatkan legitimasi baru itu karena semua saluran demokrasi sudah dikuasai,” tulis Dhimam.
Apakah Indonesia masuk dalam kategori rezim despotisme baru? Setidaknya begitu menurut akademisi Unair, Airlangga Pribadi Kusman. Dalam tulisannya “Indonesia’s New Despotism” yang dipublikasikan “Melbourne Asia Review” (2020) ia menunjukkan beberapa indikasi ke arah itu.
“Apakah berarti demokrasi Indonesia mati dalam usia muda, Airlangga mengatakan terlalu dini untuk menyimpulkan, tapi tanda-tandanya sudah tampak jelas,” tutupnya. (HMP)
Discussion about this post