Daily News|Jakarta – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) meminta Mendagri Tito Karnavian mempertimbangkan ulang usulan pemungutan suara pemilu secara elektronik ( e-voting).
Selama ini, wacana e-voting digulirkan karena dinilai dapat mengurangi tingginya biaya penyelenggaran pemilu, meringankan beban penyelenggara, hingga mempercepat proses rekapitulasi suara.
Padahale-voting akan banyak membantu perolehan hasil yang cepat dan sukar untuk dibohongi karena menggunakan blockchain technology, dan dengan berbiaya murah, seperti telah dipraktikkan di berbagai negara, termasuk India.
Namun menurut Perludem, harus lebih dulu dipastikan urgensi penerapan e-voting dan apakah sistem tersebut relevan untuk diterapkan di Indonesia atau tidak.
“Pertanyannya, apakah relevan e-voting diterapkan di Indonesia? Apakah terdapat aspek selain efisiensi yang perlu dipertimbangkan dalam wacana penggunaan e-voting?,” kata Peneliti Perludem Heroik M. Patama melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (12/3/2020).
Heroik mengatakan, jika e-voting diterapkan, akan ada penggunaan teknologi informasi yang baru dalam pemilu. Teknologi tersebut seharusnya mampu difungsikan untuk memenuhi prinsip utama pemilu, yakni bebas dan adil, termasuk menciptakan pemilu berintegritas.
Diterapkannya sistem tersebut akan berdampak pada penghilangan mekanisme pemungutan suara yang selama ini digunakan di Indonesia, yaitu pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos surat suara. Setelahnya, pemilih kembali datang ke TPS untuk melihat dan mengawasi proses penghitungan dan rekapitulasi suara.
“Jika e-voting diterapkan, tentunya peralihan proses kepada mesin akan meminimalisasi dimensi transparansi sekaligus menghilangkan pengawasan partisipatif dari publik karena tidak ada lagi mekanisme penghitungan suara terbuka di TPS,” ujar Heroik.
Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, menurut Heroik, persoalan yang lebih mendesak adalah lamanya waktu yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu di tingkat bawah untuk melakukan rekapitulasi suara.
Sebab, rekapitulasi suara, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR serta DPD, harus dilakukan dari tingkat terendah yaitu kelurahan, hingga ke KPU pusat.
Untuk itu, alih-alih menerapkan e-voting, lanjut Heroik, yang lebih mendesak adalah penerapan rekapitulasi suara secara elekteonik atau e-rekap.
“E-rekap lebih relevan digunakan di Indonesia karena selain tetap membuka ruang pengawasan partisipatif dari publik, rekapitulasi elektronik dapat menghadirikan efisiensi dan mempercepat proses rekapitulasi,” kata dia.
Jika ke depan sistem e-rekap benar-benar diterapkan, sebelumnya harus ada persiapan yang matang dan uji coba yang berulang-ulang untuk membentuk kepercayaan publik.
Diberitakan sebelumnya, Tito menyebut bahwa untuk mencegah problematika biaya politik tinggi, perlu diterapkan sistem e-voting dalam Pemilu yang akan datang.
“Lalu untuk menekan biaya tinggi, mungkin perlu diterapkan e-voting, jadi biayanya lebih rendah,” kata Tito dalam acara diskusi bertajuk ‘Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas’ di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (9/3/2020).
Tito mengatakan, dengan sistem e-voting masyarakat tidak perlu ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) membawa surat dan mencelupkan jari ke tinta. Sebab, kata dia, pada sistem e-voting akan menggunakan teknologi finger print.
“Jadi ke TPS enggak perlu pakai surat suara, enggak perlu lagi pakai yang dicelup itu, nah, karena sudah ada finger print, 98.8 persen data kependudukan sudah e-KTP, ujarnya. (DJP)
Discussion about this post