Daily News|Jakarta – Keturunan Cina sebelum era VOC dan terlebih lagi sebelum era Perang Opium 1839 kerap dipandang bagian dari warga Nusantara. Sejarah mencatat, Sultan Demak yang pertama dan mengalahkan Majapahit adalah keturunan Cina peranakan.
Setelah era kekacauan akibat perang opium 1839 meledaklah apa yang disebut imigran dari laut selatan di tahun 1840. Dari ledakan imigran itu kemudian tersusun masyarakat Cina yang ditempatkan pemerintahan Hindia Belanda di ghetto, yang di Indonesia disebut sebagai ‘kawasan pecinan’ yang dipimpin seorang Mayor juga beberapa Kapten. Salah satu kapten itu terkenal di Medan, bernama Tjong A Fie, yang juga diangkat oleh pemerintahan colonial di tiap karesidenan yangpada Pecinannya.
Belanda kemudian menyusun warga negara Hindia Belanda didasarkan pada tiga kelas dan kaum Arab serta Cina disebut Vreemde Oosterlingen (Warga Negara Timur Asing), mereka kelas dua dalam susunan warga negara Hindia Belanda, di bawah kelas satu orang-oramg Eropa. Di bawah kelas Timur Asing dalam sistem apartheid ini dan disebut kelas Inlander atau pribumi.
Dalam susunan itu yang paling apes justru kelompok mestizo, atau campuran Eropa dan Pribumi disebut sebagai kaum Indo. Dalam susunan itu kaum Indo justru seperti Pariah dalam konteks tingkatan sosial dan kedudukan warga negara.
Kaum Pribumi dan Timur Asing bisa saja jadi kelompok Eropa dengan mendapatkan beslit, biasanya kaum Cina peranakan ketika mendapatkan kedudukan sama dengan Eropa mereka sudah menggunakan nama Belanda dan nama keluarga, atau di Indonesia disebut marga. Dengan nama pertama Belanda di depan seperti Peter dari keturunan marga, maka Namanya menjadi Peter Huang, juga bagi mama-nama Huang, Erik Hwa dan lain lain.
Kaum Arab jarang yang menggunakan nama Eropa tapi mereka juga kaum yang menikmati privislege atas susunan struktur itu. Itulah kenapa kerap kita dengar keturunan Arab sering dipanggil “Wan”, kata itu berasal dari kata “Tuan” yang kerap dipanggil oleh rakyat biasa.
Barulah di masa pergerakan Bung Karno dan MH Thamrin membongkar susunan masyarakat itu termasuk pemberontakan Bung Karno pada bangsawan Jawa dengan menolak berpidato dengan kromo inggil, Bung Karno selalu ngoko dalam berpidato sebagai “Jong Java”. Sementara MH Thamrin terus mengeritik sistem itu dalam Voolkskrad…
Di masa Orde Baru, istilah Pri dan Non Pri adalah untuk menjaga garis demarkasi kelompok Cina yang dipenjara mobilitas sosialnya sebagai kelompok pedagang tapi tidak boleh berpolitik sementara kelompok Pribumi dipersulit akses jaringan modalnya tapi dapat sedikit akses ke politik, dalam sistem yang bermara di Jalan Cendana no.8.
Istilah Pri dan Non Pri adalah sebuah trauma sejarah, juga trauma yang sifatnya amat psikis, beberapa kerusuhan rasial seperti di Bandung tahun 1963, di Solo tahun 1981 sampai yang terbesar di tahun 1998 adalah contoh bagaimana politik Pri dan Non Pri dimainkan.
Masalah utamanya adalah gap eonomi social warisan Belanda masih eksis. Jika pribumi merasa kemerdekaan itu adalah untuk mereka naik kelas langsung ke kelas I, orang-irang di kelas II juga bermimpin bahwa setelah Belanda pulang kampung, mereka naik ke kelas I. Orang-orang Timur Asing, terutama etnis China tidak rela mematuhi keputusan para pendiri negara, bahwa kemerdekaan itu adalah pintu gerbang bagi kemajuan kelompok Bumi Putera.
Kelompok Timur Asing yang selama penjajahan menjadi anak emas dan menindas kaumBu Putera merasa tak ikhlas turun kelas, karena mereka memiiki harta terbesar di Indonesia setelah penjajah Belanda hengkang dari Indonesia,
Pengalaman Bumi Putera hampir sama dengan rakyat Malaysia yang juga mengalami segregasi politik, social dan ekonomi, sampai kemudian terjadi kerusuhan social di akhir tahun 1960-an.
Nasib Bumi Putree Malaysia, jumlahnya jauh lebih sedikit daripada saudaranya di Indoneisa, yaitu sekitar 55%. Namun dengan proteksi konstitusional yang mengakui keutamaan kaum Melayu, akhirnya terdapat consensus nasional bersama tokoh-tokoh China dan India untuk menghormati Konstitusi peninggalan Inggeris itu.
Dengan ‘the primacy of Malay’ pemerintah membuat kerangka hukum yang menjamin hak-hak istimewa kaum Melayu, dan membentuk kebijakan New Economic Policy, yang berhasil mengangkat kaum Melayu yang kini telah menguasai sektar 40% ekonomi dari angka di bawah 10% pada saat dimerdekakan Inggeris.
Sayangnya, malah di era reformasi pesan-pesan pendiri negara Indonesia dilunturkan dalam berbagai amandemen UUD 1945 sehingga karakter dan jati diri keindonesiaan hilang dan bahkan akan mengalami potensi revolusi yang tidak terkontrol.
Tanpa kebijakan untuk kembali ke Konstitusi yang menjadi amanah para pendiri negara pada saat Proklamasi 1945, maka Indonesia akan sulit bangkit secara bersama dalam semangat’ equality’sebangsa dan se tanah air. (DJP)
Discussion about this post