Daily News|Jakarta – Berbicara Malioboro di akhir tahun 1960-an tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan Persada Studi Klub (PSK). Laiknya Pasar Senen pada dekade 1950-an, Malioboro dengan PSK-nya menjadi ruang pertemuan para penulis muda Yogya.
Adalah Umbu Landu Paranggi, pria yang kemudian dijuluki Presiden Malioboro, menjadi pusat ‘tata surya’. Dengan para penulis muda Yogya yang menjadi planet yang mengorbit mengitari Umbu.
Di sana mereka belajar, berdiskusi, membaca puisi, dan merencanakan kegiatan-kegiatan kreatif. Dari PSK ini kemudian lahir penulis masyhur generasi 1980-an seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Ragil Surwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, juga Korrie Layun Rampan, Mustofa W Hasyim, Budi Sardjono dan lain-lain.
Sosok Umbu sebagai inisiator dan mentor PSK memang penting. Pria kelahiran Sumba, 10 Agustus 1943 itu dianggap gurunya anak-anak PSK. Namun, Umbu kini sudah berpulang di usia 78 tahun. Pria bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi meninggal di Bali, pagi tadi.
“Ya tadi jam 03.50 WITA. Tidak ada sakit yang serius karena tidak makan dua hari. Kae wong pasa terus (Umbu itu rajin puasa). Dulu sudah pernah seperti itu tapi kali ini tidak tertolong,” kata Emha Ainun Nadjib saat dihubungi wartawan, Selasa (6/4/2021).
Emha mengenal Umbu Landu Paranggi sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogya yang berkantor di ujung utara Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar menulis puisi dan karya sastra, ia kemudian bergabung dalam PSK.
“Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan ‘Kehidupan Puisi’ menurut idiom Umbu sendiri,” ucapnya.
Cak Nun, demikian sapaan akrab Emha, kemudian bercerita tentang kisah Persada Studi Klub yang bermarkas di Malioboro. Di akhir tahun 1969, ketika ia baru bergabung di ‘Universitas Malioboro’, bersama ‘mahasiswa Universitas Malioboro’ lainnya setiap malam duduk berkumpul bersama di Malioboro. Di antaranya ada almarhum Iman Budhi Santosa, salah seorang murid utama Umbu Landu Paranggi saat itu.
Sebagai jebolan ‘Universitas Malioboro’, Cak Nun itu menganggap Umbu adalah guru. Bahkan menjadi satu-satunya orang yang disebutnya guru karena pendidikan Umbu adalah pendidikan yang benar.
“Dia satu-satunya orang yang saya sebut guru tapi nggak ngajarin. Jadi guru yang baik itu tidak mengajari tapi menciptakan atmosfer, mendorong. Sama dengan menumbuhkan pohon itu menyirami bukan mencetak, jadi kalau tumbuh sebagai padi ya biar jadi padi,” ucapnya.
Pendidikan yang diberikan Umbu itu menumbuhkan potensi yang diberikan oleh Tuhan. Ia memberikan perumpamaan jika manusia itu sebuah padi maka ia harus tumbuh menjadi padi dan bukan menjadi jagung.
“Di situ, Umbu itu menurut saya sangat religius, sangat teologis, sangat sufi,” ungkapnya.
Religiusitas Umbu sebagai seorang manusia, kata Cak Nun, disebut melebihi kaum sufi. Segalanya ia tinggal. Ketika orang-orang mengejar popularitas, Umbu memilih untuk lari dari popularitas. Ketika orang-orang berjuang untuk menjadi orang kaya, Umbu Landu Paranggi justru meninggalkan kekayaannya di tanah kelahirannya.
“Umbu itu satu-satunya orang yang melebihi kaum sufi. Semuanya ditinggal, kekayaannya ditinggal, pokoknya dia menikmati apa yang Tuhan kasih,” sebutnya.
“Kendaraan tidak punya, nyetir juga tidak bisa, lemari tidak punya, dompet tidak punya, nyimpen uang dikubur di tanah dimasukkan plastik. Nggak ada sufi seperti dia, dari sudut kesetiaannya kepada hak asasi Tuhan,” lanjut Cak Nun. (DJP)
Discussion about this post