Daily News|Jakarta – Pengamat masalah politik Karyono Wibowo menilai pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri yang mempertanyakan mengapa rakyat Sumatera Barat tidak menyukai partai itu mencerminkan sejumlah kondisi.
Dia mengatakan bahwa pernyatakan itu menunjukkan adanya perhatian khusus terhadap wilayah itu. Kondisi tersebut juga menunjukkan adanya kesadaran evaluasi kinerja partai di Sumbar.
“PDIP tidak pernah sukses di Bumi Minangkabau dalam sepanjang sejarah pemilu. Munculnya kesadaran untuk mengevaluasi merupakan langkah maju,” katanya, Sabtu (5/9/2020).
Dia menilai akan lebih baik, proses evaluasi dilakukan secara serius dan sistematis. Salah satunya memerlukan riset dan kajian secara holistik.
Pasalnya, PDIP selalu kalah pemilu di Sumbar. Pun dalam pertarungan pemilihan presiden tidak pernah menang. Kekalahan di Pilpres 2019 lalu juga masih menyisakan pertanyaan.
Padahal, pemerintahan Joko Widodo sudah memberi perhatian cukup dengan membangun sejumlah fasilitas di wilayah ini.
“Fenomena itu mengafirmasi bahwa pendekatan kebijakan pembangunan fisik tidak cukup efektif ‘menjinakkan’ masyarakat Sumbar. Mengapa ini terjadi? Mungkin faktor geanologi politik dan ideologi masih dominan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan,” jelasnya.
Karyono menjelaskan, geanologi politik masyarakat Sumbar saat ini belum lepas dari politik aliran pada masa lalu. Partai Masyumi sangat kuat di wilayah ini. Dalam konteks ideologis pengaruhnya masih kuat hingga sekarang.
Salah satu faktor lemahnya dukungan PDIP di Sumbar, lanjutnya, disebabkan karena partai itu kurang mencermati pergeseran politik yang terjadi. Misalnya, dalam konfigurasi politik lokal tidak ada tokoh lokal, PDIP tidak memiliki tokoh berpengaruh yang dapat menarik pemilih.
Padahal, dalam pemasaran politik dibutuhkan strategi endorsement tokoh yang berpengaruh sebagai pengepul suara atau vote-getter. Hal ini penting di tengah budaya patronase politik yang masih kuat.
“Kekalahan PDIP di Sumatera Barat jika ditarik lebih jauh juga disebabkan juga oleh faktor sejarah hubungan Sukarno dengan sejumlah tokoh Sumbar, terutama dengan tokoh yang saat itu dituduh terlibat dalam PRRI/PERMESTA.”
Pengamat lain menyatakan, sosok Sukarno dipandang sebagai pihak yang mengerahkan militer untuk menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat yang membuat sosok Sukarno kurang diterima di Bumi Minangkabau.
“Kaum komunis mengambil kesempatan dalam kesempitan membantai tokoh-tokoh Islam Sumatera Barat ketika itudan itu masih membekas hingga kini,” katanya.
Di awal Proklamasi tidak ada masalah dengan pemerintah pusat, namun ketika Soekarno condong ke kiri-kirian dan memberi angin kepada golongan komunis, ini tidak diterima rakyat Sumbar. Tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi di banyak daerah-daerah, tukas pengamat itu.
Masa Orde Baru dan Reformasi 1998 memang telah menyebabkan terjadinya perubahan konfigurasi politik di Tanah Minang, menunjukkan masyarakat Sumbar semakin cair, berupaya melupakan peristiwa pahit di masa lampau. Kesempatan ini tidak dimanfaatkan oleh PDIP, tutupnya. (DJP)
Discussion about this post