Daily News|Jakarta – Chris Komari, mengaku activis democrasi yang tinggal AS menulis jika presiden atau Menteri bisa menunjuk pengganti pejahat sementara bagi kepala daerah dalam waktu relative lama adalah pengangkangan terhadap asas kedaulatan rakyat dan demokrasi.
“Jika presiden dan mendagri boleh sesukanya menunjuk kepala daerah sementara maka apa makna dan fungsi Pilkada, dan apa arti otonomi daerah?” tanyanya.
“Mulai kapan demokrasi based on appointment (penunjukan), dan bukan election?”
Betul, pengunduran Pilkada 2,5 tahun dilakukan oleh UU yang dibuat oleh DPR. Tetapi Hakekat UU dan Perppu tidak boleh “melanggar” atau “mengkudeta” kedaulatan rakyat yg dijamin oleh UUD 1945 dan harus demokratis.
“Semua norma dan tatacara sebagai penjabaran dari UUD yang ada pada peraturan pemerintah (Perppu) dan UU, isinya tidak boleh mengudeta kedaulatan tertinggi rakyat. Bila ada isinya yang mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat, berarti itu bagian dari kongkalikong, pembohong dan rekayasa.”
“Yang namanya demokrasi itu based on election, bukan based on appointment (penunjukan) Presiden atau Mendagri.”
Care taker atau PLT itu short term karena emergency situation. Bukan ditunda 2 tahun, sementara waktu 6 bulan atau 1 tahun cukup untuk melakukan Pilkada, catat Ahmad.
Itu namanya pelanggaran terhadap asas kedaulatan rakyat dengan rekayasa demokrasi lewat appointment (penunjukan).
“Mulai kapan demokrasi berbasis dan berprinsip pada appointment (penunjukan) oleh yg memimpin…??? Sedangkan prinsip demokrasi nomer 1 berbunyi: “sovereignty of the people” (kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat),” tulisnya.
Dan prinsip demokrasi nomer 2 berbunyi: “government based upon the consent of the governed” (pemerintahan dijalankan atas persetujuan yang dipimpin dalam hal ini adalah rakyat, …bukan atas persetujuan yang memimpin, seperti Presiden atau Mendagri
Karena itu, UU yg menunda Pilkada 2,5 tahun itu jelas tidak demokratis dan melanggar kedaulatan tertinggi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945, catat Chris.
“Makanya saya menulis article untuk semua 101 kepala daerah yg jabatannya berakhir tahun 2022 dan akan diganti oleh Plt yg ditunjuk Mendagri dan harus disetujui Presiden, agar menolaknya dengan mengajukan JR UU yg ngempret itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penundaan pilkada DKI adalah keputusan politik yang direncanakan oleh penguasa dan tidak memberi kewenangan menggantikan Gubernur yang dipilih langsung oleh warga DKI Jakarta lewat pemilu dengan Gubernur PLT hasil penunjukan oleh Presiden.”
“Mengundurkan Pemilu 2024 itu tindakan inkonstitusional. Mengundurkan Pilkada hingga 2,5 tahun itu juga tindakan inskonstitusinal..!
“Semua pejabat executive daerah yang mau dicopot secara inkonstitusionil itu berhak menolak untuk diganti. Jangan mau diganti .!!!!
Menurut Chris, pejabat lama yg dipilih langsung oleh rakyat berhak menduduki jabatan yg sama hingga penggantinya dipilih oleh rakyat lewat pemilihan umum (election), bukan karena penunjukan (appointment).
“Tetapi jabatan kepala daerah yg dipilih langsung oleh rakyat, harus tetap dijabat oleh orang yg “sama”, hingga penggantinya dipilih oleh rakyat atau warga setempat pada pemilihan umum berikutnya. Kalau ditunda oleh penguasa, itu salahnya penguasa !!!”
Tetapi yg tetap berhak menduduki jabatan yang sama adalah mereka yg telah dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilihan umum (election), dan bukan mereka yg ditunjuk (appointment) oleh Presiden, catat Chris.
“Presiden dan Mendagri tidak punya hak, tidak punya wewenang dan kekuasaan secara hukum dan konstitutional untuk mencopot kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, kemudian diganti dengan PLT selama 2,5 tahun yang ditunjuk Presiden!”
Karena itu, Chris menganjurkan agar semua kepala daerah yang masa jabatan akan berakhir tahun 2022 ini, jangan mau dicopot dan jangan mau diganti. Kelicikan penguasa ini adalah ‘abuse of power’ dan karena itu berpotensi inkonstitusional.
Menurutnya, pada saat proses judicial review dilakukan di MK, maka kepala daerah yang bersangkutan harus tetap menjabat posisi yang sama hingga keputusan MK keluar.
“Jangankan 2 tahun, 1 tahun atau 6 bulan saja sudah lebih dari cukup waktu untuk melakukan Pilkada di masing-masing daerah.”
Kepala daerah dipilih oleh rakyat dan hanya bisa diganti oleh rakyat lewat Pilkada, bukan lewat penunjukan (appointment) oleh Presiden.
Jabatan kepala daerah dan memilih kepala daerah adalah hak rakyat daerah dan bagian dari otonomi daerah.
Ketika masa jabatan kepala daerah berakhir dan Pilkada tidak bisa dilakukan apapun alasan, maka kepala daerah yang sama akan tetap menjabat dengan waktu perpanjangan (extension) hingga Pilkada dilakukan untuk memilih kepala daerah baru. (DJP)