Daily News|Jakarta –Lembaga pemeringkat global, Moody’s Investor Service merilis laporan yang menunjukkan bahwa BUMN di kawasan Asia Pasifik kecuali China menjadi sumber risiko kontijensi atau risiko ketidakpastian terkait perolehan laba atau rugi pada neraca pemerintah.
Menurut riset Moody’s tersebut, beberapa BUMN di Indonesia, Taiwan, Thailand, India, Korea dan Malaysia menunjukkan outlook utang yang mengkhawatirkan.
Beberapa indikator yang digunakan oleh Moody’s untuk melihat adanya risiko kontijensi tersebut antara lain rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER), kemampuan bayar utang (interest coverage rasio/ICR), rasio balik modal (retun on equity/ROE) serta persentase utang terhadap PDB BUMN.
Sejak awal tahun ini, tercatat utang luar negeri BUMN RI terus mengalami tren peningkatan. Dari periode Januari-Juli, ULN BUMN sudah naik lebih dari US$ 6,3 miliar atau naik 13,8%. Proporsi utang BUMN terhadap total utang luar negeri swasta pada Juli 2019 tercatat mencapai 26,7%. Naik 2,7 basis poin bila dibandingkan dengan ULN swasta pada awal tahun ini.
Utang luar negeri (ULN) BUMN Indonesia hingga Juli 2019 mencapai US$ 52,8 miliar. Kata Moody’s, utang BUMN Indonesia terbilang mengkhawatirkan dan berdampak pada adanya risiko kontijensi atau ketidakpastian untuk RI.
Memang, berdasarkan laporan tersebut, beberapa BUMN Indonesia yang disorot dalam laporan Moody’s adalah PT Waskita Karya Tbk. (WSKT), PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA), PT Adhi Karya Tbk. (ADHI), PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) dan PT Indofarma Tbk. INAF).
Pertumbuhan utang BUMN karya menduduki posisi teratas, di mana total utang WSKT yang awalnya hanya Rp 9,7 triliun di tahun 2014, pada akhir Juni 2019 melesat hingga Rp 103,7 triliun atau naik 970% dalam 6 tahun.
Berbeda dengan emiten batu bara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang dalam periode yang sama total kewajiban perusahaan hanya naik 16,6%, dari Rp 6,1 triliun di tahun 2014 menjadi Rp 7,2 triliun di paruh pertama tahun ini. (DJP)
Discussion about this post