Daily News|Jakarta – Tepat hari ini, satu abad yang lalu, bayi laki-laki bernama Soeharto lahir dari rahim Sukirah, di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Meski masa kecilnya dihiasi dengan kehidupan serba sulit, ia kelak bakal mencengkram Indonesia selama 32 tahun lewat kuku-kuku militer dan cuci otak rakyat via isu PKI.
Dalam buku ‘Soeharto, dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi’, seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (1989), Soeharto, menceritakan bahwa anak ketiga dari pasangan Kertosudiro-Sukirah itu melalui masa kecil dalam kondisi sulit meski tetap menerima banyak cinta keluarganya.
Kertosudiro, seorang duda yang dari pernikahan pertama memiliki dua orang anak, bekerja sebagai seorang ulu-ulu, petugas desa pengatur air. Untuk menghidupi keluarga, ia bertani di atas tanah lungguh, tanah garapan yang diberikan selama ia memikul tugas di desa.
Tak lama setelah Soeharto lahir, ayah dan ibunya bercerai. Belum genap 40 hari, ia kemudian berpisah dengan ibunya lantaran dibawa ke rumah Kromodiryo, adik kakeknya.
Mbah Kromo, begitu Soeharto memanggilnya sangat menyukai Soeharto kecil dan sering membawa bocah itu ke sawah ketika bertani.
Suatu waktu, Soeharto pernah menebang pohon pisang dengan sebuah sabit, namun benda tajam itu terlepas dari tangannya dan melukai kakinya. Awalnya seisi rumah menganggap kejadian itu biasa saja. Namun ternyata luka itu menjadi borok.
“Maka Mbah Kromo menjadi risau dan beliau lah yang mengobati saya dengan penuh kasih sayang. Memang terasa sekali betapa sayangnya beliau kepada saya,” kata Soeharto, yang juga pernah menggembala ternak milik kakeknya, Atmosudiro.
Sejak itu, ia kerap berpindah pengasuhan, dari ibunya yang menikah lagi dengan Atmopawiro, pamannya Prawirowihardjo, di Wuryantoro, pamannya yang lain Sulardi, teman ayahnya, Hardjowijono, di Wonogiri. Mereka semua menerimanya dengan tangan terbuka.
Soeharto lantas kembali ke Kemusuk, dimana dia bersepeda setiap hari ke sekolah menengahnya di Yogyakarta. Usai lulus, ia mengaku ingin kembali melanjutkan sekolah. Namun, orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai.
Ia memutuskan kembali ke Wuryantoro untuk mencari pekerjaan. Dia sempat bekerja sebagai pembantu klerek pada sebuah bank desa.
Dalam perjalanannya, ia kembali menganggur dan mengadu nasib ke Solo. Di sana, ia tidak mendapatkan pekerjaan dan kembali ke Wuryantoro untuk melakukan pekerjaan serabutan., mulai dari gotong royong, membangun langgar, menggali parit, hingga membereskan lumbung.
Saat itu, Soeharto muda, sempat terbayang tentang masa depan yang gelap.
Peluang dari KNIL
Di tengah keputusasaannya, Soeharto melihat kesempatan dengan melamar masuk Angkatan Bersenjata Hindia Belanda (KNIL).
Setelah lulus ujian dan pelatihan, ia ditugaskan ke Batalion XIII di Rampal, dekat Malang, pada akhir 1940, sebagai Wakil Komandan Regu. Tugas jaga malam di Gresik selama dua minggu membuat dia terkena malaria.
Sesudah tugas itu, ia kembali ke daerah Gombong dan melanjutkan sekolah kader untuk dilatih sebagai seorang sersan. Pecahnya Perang Dunia ke-2 membuat Soeharto dikirim ke markas angkatan bersenjata di Bandung.
Seminggu berdinas, Belanda menyerah pada Jepang yang kemudian berkuasa di Indonesia. Tak mau menjadi tawanan, dengan uang seadanya, Soeharto menanggalkan seragamnya dan kembali ke Wuyantoro. Di tempat ini, ia kembali terkena Malaria.
Setelah sembuh, ia mengadu nasib ke Yogyakarta, masuk kursus mengetik dan kembali terkena Malaria. (DJP)
Discussion about this post