Daily News|Jakarta –Ancaman virus corona tidak mengurungkan niat para buruh, termasuk juga mahasiswa dan beberapa kelompok masyarakat, melakukan demonstrasi menuntut pembatalan Undang-Undang Omnibus Law.
Mereka memandang ancaman yang akan dimunculkan UU Omnibus Law jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak terinfeksi virus corona.
“Virus corona berdampak pada beberapa orang hingga satu generasi, tapi UU Omnibus Law akan berdampak pada tujuh generasi dan menciptakan generasi pekerja kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja, tanpa ada keamanan dan jaminan pekerjaan,” kata Solihin, buruh di Jakarta kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, Kamis (08/10).
Dari banyak pasal yang dinilai bermasalah, terdapat tiga di antaranya yang mengancam kehidupan para pekerja jika aturan itu diberlakukan.
Pertama adalah tidak adanya batas waktu dan jenis pekerjaan dalam sistem kontrak yang menyebabkan para pekerja dapat dikontrak seumur hidup tanpa ada kewajiban mengangkat sebagai pegawai tetap.
Kedua, status kontrak itu akan berimplikasi pada hilangnya jaminan sosial dan kesejahteraan, seperti tunjangan hari raya, pensiun dan kesehatan.
Ketiga, dihapusnya upah minimum sektoral (provinsi dan kabupaten), dan adanya persyaratan dalam penerapan upah minimum kabupaten/kota, serta diwajibkannya penerapan upah minimum provinsi (UMP) yang nilainya jauh lebih rendah.
Pemerintah mengatakan menyayangkan aksi demonstrasi yang terjadi karena berpotensi memunculkan klaster virus corona yang baru dan meminta seluruh pihak untuk menahan diri.
“Kami menekankan perlunya semua pihak mempelajari dan membaca isi UU Omnibus Law. Semangat UU ini adalah untuk keseimbangan penciptaan lapangan kerja dan perlindungan hak pekerja,” kata Juru Bicara Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi.
Corona menakutkan, Omnibus Law lebih parah
Ade Supyani pekerja metal di Purwakarta, Jawa Barat, mengatakan dampak UU Omnibus Law lebih menakutkan dibandingkan ancaman virus corona.
“Ibaratnya, kena corona, kita bisa sembuh atau meninggal dan berdampak hari ini, tapi Omnibus Law dijalankan, dampaknya sangat merugikan dan mengancam masa depan seluruh rakyat Indonesia dan dalam waktu lama, bergenerasi-generasi,” kata Ade.
Itu sebabnya, Ade dan buruh-buruh lainnya turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan.
Dalam melakukan demonstrasi, Ade menjelaskan, seluruh peserta demo tetap menggunakan masker walaupun sulit mematuhi aturan jaga jarak. Selain itu, keluarga di rumah juga mendukung aksi yang dilakukan Ade.
“Kalau upah murah, anak buruh sekolah di mana? Nanti yang ada anak lebih sengsara dari orang tuanya,” katanya.
Ia meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mencabut Omnibus Law.
Demo hanya reaksi dan imbas
Senada dengan Ade, seorang buruh di Cianjur, Jawa Barat, Asep mengatakan demonstrasi yang dilakukan merupakan respons atas keputusan DPR RI dan pemerintah yang ia sebut “memaksakan” pengesahan UU Omnibus Law di malam hari.
“Harusnya yang ditanya itu DPR bukan kami, yang memaksakan [pengesahan UU] di tengah pandemi … rakyat hanya imbas dari keberpihakan mereka kepada kapitalis, dan keserahkahan mereka,” kata Asep saat ditanya tentang potensi penularan Covid-19 saat melakukan demonstrasi.
Ia mengatakan, buruh tidak akan melakukan demonstrasi jika DPR tidak mengesahkan UU. Asep menegaskan aksi akan terus berlanjut hingga UU Omnibus Law dibatalkan.
“Kalau tidak, kami akan terus bergerak karena ini tentang anak cucu kita yang merasakannya ke depannya, buruh kontrak seumur hidup, di semua sektor, jaminan hilang,” katanya yang mengatakan ada puluhan ribu buruh di Cianjur melakukan demonstrasi.
Dampak Ciptaker tujuh turunan
Solihin yang melakukan demonstrasi bersama buruh lainnya di Kawasan industrI Pulo Gadung Jakarta mengatakan, Omnibus Law berpotensi “mematikan” kehidupan generasi muda mendatang.
“Corona memang berbahaya sekali karena menimbulkan kematian, tapi yang lebih mematikan buat kami khususnya para buruh dan generasi mendatang itu Omnibus Law yang akan mematikan [berdampak] hingga tujuh turunan. Kami tidak takut corona, kami lebih takut Omnibus Law,” kata Solihin yang mengatakan sejak demo tiga hari lalu tidak ada buruh yang menunjukan gejala Covid-19.
Solihin menambahkan, keluarga di rumah juga mendukung aksi yang ia lakukan.
“Istri dan anak mendukung karena mereka merasa rugi bila pensiun saya dikurangi, lalu saat anak kerja bagaimana, kontrak terus sampai tua,” katanya.
Senada dengan itu, Muhammad Noval mengatakan dalam melakukan aksi demo, seluruh peserta diwajibkan menggunakan masker, dan jika dimungkinkan melakukan jaga jarak dan cuci tangah.
“Kami semua ikut protokol kesehatan. Tapi saya tidak takut [corona], serahkan saja kepada Yang Kuasa. Mati dalam perjuangan untuk anak dan cucu kita, tidak masalah buat saya,” katanya.
Demo: klaster baru virus corona
Juru Bicara Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi mengatakan, pemerintah sangat menyayangkan aksi demonstrasi karena berpotensi menciptakan klaster baru virus corona.
“Sangat disayangkan, pemerintah sudah mewanti-wanti, dan mengimbau secara persuasif untuk betul-betul dipertimbangkan demonstrasi karena sangat berpotensi menciptakan klaster-klaster baru,” ujar Jodi yang juga mengatakan Indonesia menunjukan tren positif dengan penurunan kasus virus corona.
Jodi menambahkan, selain tindakan persuasif, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, telah menyampaikan kepada aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas jika aksi demo itu sangat berpotensi menimbulkan klaster baru.
Terkait dengan pernyataan buruh yang mengatakan UU Omnibus Law lebih berbahaya dibandingkan virus corona, Jodi membantah hal tersebut karena UU itu bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara penciptaan lapangan kerja dan perlindungan tenaga kerja.
“Harusnya demonstran dan kelompok di belakangnya coba dulu memahami isi UU Omnibus Law. Pemerintah tidak akan membuat UU yang mencelakai bangsanya sendiri. Jadi sebaiknya semua pihak menahan diri, lihat dulu, pelajari bersama-sama, dan berdialog,” kata Jodi.
Jodi menambahkan, UU Omnibus Law juga bertujuan untuk menata tumpang tindihnya aturan dari daerah hingga kementerian yang menciptakan calo-calo proses perizinan.
“UU ini menyederhanakan peraturan lebih kompetitif dan aplikatif. Pemerintah sekarang sebetulnya bisa saja cari aman dan tidak melakukan terobosan apa-apa, seperti bergantung pada ekspor komoditi seperti dahulu kala. Tapi yang dilakukan sekarang adalah terobosan untuk Indonesia yang lebih baik di masa depan. Untuk generasi penerus,” katanya.
Hingga Kamis (08/10) sore, berdasarkan data dari kepolisian, terdapat 47 pendemo yang dinyatakan reaktif virus corona di wilayah Jakarta (34 orang) dan Jawa Barat (13 orang).
“Sebanyak 34 orang untuk wilayah Jakarta, dan semuanya sudah dilarikan ke Wisma Atlet,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono, Jakarta, Kamis (08/10), dalam siaran pers.
Polri mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat yang menolak UU Omnibus Law Cipta agar melalui jalur hukum. Misalnya melalui pengajuan gugatan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Argo menyebut, penolakan melalui demonstrasi berpotensi terjadinya penyebaran virus corona.
Sebab itu, penolakan melalui jalur hukum bisa mencegah terjadinya klaster baru Covid-19.
KSPI: protokol kesehatan wajib
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Riden Hatam Azis, mengatakan seluruh pendemo telah dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan saat melakukan aksi guna mencegah penyebaran virus corona.
“Kami paham betul terkait Covid dan kami laksanakan, dan sebenarnya kami tidak mau demo. Tapi kami tidak ada pilihan, kami harus melawan. Omnibus Law harus ditolak karena sangat merugikan,” kata Riden yang mengatakan aksi akan terus berlanjut hingga UU itu dicabut.
Salah satunya adalah, kata Riden, para buruh mewajibkan seluruh peserta untuk menggunakan masker. Namun, untuk jaga jarak sulit dilakukan.
“Karena kepolisian dorong-dorong kami sehingga jadi bergeser dan terjadi penumpukan,” katanya.
Di sisi lain, kata Riden “pemerintah harus fair. Jangan kami demo dibilang berpotensi menyebarkan Covid-19 dan ciptakan klaster, tapi di sisi lain, pabrik-pabrik dengan pegawai 6000 [di Balaraja] hingga 13.000 [di Bekasi] terus beroperasi, buruh bekerja berdekatan,” katanya.
“Kami sudah biasa kumpul ribuan orang, dan tahu betul situasi itu. Jangan demo dilarang karena Covid, tapi giliran berkumpul karena kerja diizinkan, harusnya pabrik-pabrik dihentikan juga produksinya” katanya.
Berdasarkan data hingga Kamis (08/10), total kasus virus corona di Indonesia mencapai 320.564 orang dengan jumlah meninggal dunia 11.580 orang.
Sejumlah pegiat pendidikan mengaku merasa dibohongi dengan lolosnya pasal mengenai perizinan pendidikan pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang mereka khawatirkan dapat ‘membuat pendidikan makin mahal’.
Mereka menyatakan pula siap menguji undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, DPR telah mencabut aturan klaster pendidikan dalam RUU itu, tapi pasal perizinan pendidikan tetap dimasukkan dan disahkan DPR, dengan dalih hanya akan berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Praktik cari untung makin khas
Dalam UU Ciptaker yang disahkan Senin (05/10), disebutkan bahwa perizinan pada sektor pendidikan di KEK dapat dilakukan sesuai aturan Izin Berusaha yang dicantumkan dalam undang-undang yang sering disebut Omnibus Law itu.
Pengurus Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBT), Darmaningtyas, mengkhawatirkan aturan itu akan membuat pendidikan makin mahal dan tak terjangkau bagi mereka yang miskin.
Padahal, merujuk pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, lembaga penyelenggara pendidikan harus bersifat nirlaba.
Lembaga pendidikan pun tidak mengajukan Izin Berusaha, karena bukan badan usaha yang mengejar keuntungan.
“Yang sudah pasti sekarang ini ada keluhan-keluhan pendidikan dikomersialisasikan… Itu akan semakin kuat [dengan aturan dalam Omnibus Law] karena pendidikan itu izinnya sebagai badan usaha.
“Kalau badan usaha itu untuk mencari keuntungan sehingga praktik pendidikan sebagai bisnis akan semakin khas,” ujarnya.
Ditambahkan Darmaningtyas, sebelum pendidikan diizinkan menjadi badan usaha saja, akses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi masih terbatas, baru mencapai di bawah 40% bagi orang-orang yang berusia 18-23 tahun.
Fauzi Abdillah Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) melihat pasal itu sebagai “pasal yang menyelundup, yang membuka jalan dan memberikan payung untuk komersialisasi pendidikan.”
Mengapa masuk ke UU?
Sebelumnya, DPR sudah mencabut klaster pendidikan dalam aturan itu karena penolakan dari sejumlah pegiat pendidikan.
Namun, anggota Badan Legislasi (Baleg) dari fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, yang partainya menolak pengesahan RUU itu, menjelaskan pasal soal perizinan pendidikan akhirnya tetap masuk dalam pengaturan soal Kawasan Ekonomi Khusus karena Indonesia sudah terikat dengan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan atau GATT.
Oleh karena itulah Darmaningtyas menyebut kalangan pegiat pendidikan “merasa dibohongi” oleh DPR dan mereka menyatakan siap untuk mengajukan uji materi undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi.
Namun Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi, membantah DPR berbohong.
“Itu hak untuk berkomentar yang dilindungi undang-undang. Namun, kami sama sekali tidak mau membohongi siapa pun karena ini komitmen, berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah bahwa prinsip pendidikan itu nirlaba.
“Ada pun yang dapat menggunakan izin usaha itu hanya yang di KEK. Yang lain mengacu pada ketentuan existing[yang ada],” ujarnya.
Kawasan ekonomi khusus itu, kata Achmad Baidowi, tak bisa dilepaskan dari komersialisasi.
“Kita tahu semua Kawasan Ekonomi Khusus itu bicara bisnis, bicara ekonomi, orang punya duit semua, orang kaya di situ. Komersialisasi pasti ada di situ.
“Makanya kita gunakan klausul itu hanya untuk di Kawasan Ekonomi Khusus yang mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Jadi tidak bisa tiba-tiba badan usaha pembuat lembaga pendidikan di KEK tanpa izin pemerintah pusat itu, nggak boleh.”
Aturan harusnya sama
Dalih hanya akan berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus itu dikritik Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Doni Koesoema.
Ia mengatakan yang tinggal di wilayah itu juga merupakan anak-anak Indonesia yang harusnya dinaungi dengan aturan yang sama secara nasional.
Ia mengkhawatirkan dengan aturan berbeda itu, sekolah asing dapat beroperasi dengan lebih mudah tanpa mengikuti standar nasional, hal yang bisa berdampak juga pada gaji guru di sana.
“Sekolah-sekolah internasional yang datang ke sini harus dipastikan bagus, itu kalau dengan UU Ciptaker tidak bisa memastikan sekolah itu berkualitas atau tidak.
“Lalu kemudian ada potensi diskiminasi juga pada guru-guru. Nanti kalau ada guru indonesia kerja di situ, dengan diatur pakai UU Omnibus Law mereka bisa mendapat diskriminasi gaji dan lain-lain,” ujarnya.
Doni menambahkan hal itu juga bisa menimbulkan persaingan yang merugikan bagi sekolah swasta nasional dan sekolah negeri di wilayah setempat. (DJP)
Discussion about this post