Daily News|Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya melaporkan Kepolisian Daerah Jawa Timur ke Ombudsman Jatim atas dugaan maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang, Kamis (12/11).
Koordinator KontraS Surabaya Rahmat Faisal mengatakan polisi diduga telah menyalahi wewenang saat melakukan penjagaan aksi unjuk rasa tolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada 8 dan 20 Oktober 2020 lalu.
“Kami mengajukan laporan ke Ombudsman soal dugaan terjadinya maladministrasi oleh aparat kepolisian dalam menangani unjuk rasa tanggal 8 dan 20 Oktober. Terlapornya Polda Jatim,” kata Faisal, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis.
Faisal menyebut dugaan maladministrasi itu adalah tindakan kepolisian yang melampaui kewenangan dan mengabaikan kewajiban hukum saat melakukan penjagaan aksi unjuk rasa.
“Merujuk UU nomor 37 tahun 2008 soal Ombudsman, dugaan mal administrasi itu adalah tindakan yang melampaui kewenangan, mengabaikan kewajiban hukum, yang harus dipenuhi aparat kepolisian dalam menjaga atau menangani unjuk rasa,” ujar Faisal.
Ia lalu merinci dugaan pelampauan kewenangan yang dilakukan polisi dalam menangani aksi tolak Ciptaker di Surabaya.
“Penangkapan sewenang-wenang, melakukan tindak kekerasan kepada mereka yang unjuk rasa, dan juga tidak membuka informasi soal identitas mereka yang ditangkap, itu berujung pada tim advokasi yang tidak bisa memberikan bantuan hukum,” tutur Faisal.
Berdasarkan catatan KontraS, tindakan kesewenang-wenangan polisi itu dialami 182 orang yang tertangkap saat aksi 8 Oktober, dan sekitar 10 orang pada unjuk rasa 20 Oktober. Sementara jumlah massa yang ditangkap, berdasarkan data kepolisian jauh lebih besar dari itu.
“Tanggal 8 yang melapor langsung dan data tim advokasi ada 182 orang. Tanggal 20 yang melapor langsung ke KontraS ada sekitar 10 orang, tapi kalau sesuai dengan rilis kepolisian tanggal 20 itu lebih dari 10 orang ada 90 orang lebih,” ucapnya.
Laporan ke Ombudsman tersebut, kata dia, dilakukan secara daring dan telah diterima.
Ia mengatakan, pihaknya sebenarnya telah mendatangi kantor Ombudsman Jatim untuk memberikan laporan ini secara langsung. Namun, petugas belum melayani pelaporan secara langsung, dengan alasan pandemi Covid-19. Walhasil laporan pun dilakukan secara daring.
Dalam laporan itu, pihaknya telah mengirimkan sejumlah dokumen yang berisi tentang temuan KontraS, nama-nama korban penangkapan, bukti video kekerasan polisi kepada massa, serta testimoni korban.
“Detail soal temuan KontraS, nama-nama korban yang mengalami penangkapan baik yang melapor langsung ke KontraS maupun tim advokasi, lalu dokumen mulai video tindak kekerasan sampai testimoni korban,” tuturnya.
Pihaknya kini menunggu tanggapan dan tindak lanjut dari laporannya tersebut.
Terpisah, Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim, Agus Widiyarta, membenarkan pihaknya telah menerima laporan dari KontraS tersebut. Namun Ombudsman kata dia akan lebih dulu mengkajinya sebelum memberikan tanggapan.
“Saya mendengar dari petugas sudah masuk [di Ombudsman], tapi belum sampai di saya. Mungkin besok baru bisa saya tanggapi,” kata Agus saat dikonfirmasi.
Saat dikonfirmasi soal laporan itu, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan jajaran Polda Jatim selalu melakukan analisis dan evaluasi dari setiap kegiatan, termasuk saat penjagaan unjuk rasa 8 dan 20 Oktober 2020 lalu.
“Setiap kegiatan kami sudah lakukan analisa dan evaluasi secara internal,” kata Truno.
Ia pun masih menunggu hasil evaluasi tersebut. Kepolisian, kata dia, juga selalu terbuka kepada setiap aduan masyarakat terkait kinerja imternal mereka.
“Polda juga ada mekanisme pengaduan masyarakat soal internal, kita tunggu aja dari hasil porsi pengawas,” ucapnya. (DJP)
Discussion about this post