Daily News|Jakarta – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M Nur Ramadhan menyatakan bahwa wacana perubahan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam menjadi sembilan tahun dalam satu periode bertentangan dengan semangat good governance dan etika pemerintahan.
Menurutnya, masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar, serta pelanggaran dan gangguan prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun sejak dulu.
“Hal ini bertolak belakang dengan semangat kekerasan kekerasan dalam prinsip negara hukum di Indonesia,” kata Nur dalam keterangannya, Rabu (25/1).
Jika dikalkulasikan, lanjutnya wacana memperpanjang masa jabatan kades menjadi sembilan tahun akan memungkinkan seorang kades dapat dicabut hingga 27 tahun, mengingat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menerbitkan seorang kades dapat dipecat selama tiga periode.
Nur memandang alasan memperpanjang masa jabatan kades untuk meredam eskalasi Pilkades merupakan suatu hal yang mengada-ada serta meremehkan kemampuan masyarakat mengelola konflik.
Kalau pun ada dinamika dalam Pilkades, menurutnya, sulit ditemukan hubungannya dengan rentang masa jabatan selama enam tahun sebagaimana diatur saat ini. Nur melanjutkan, wacana memperpanjang masa jabatan kades diduga diduga cerminan dari politik transaksional menuju Pemilu 2024.
“Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumentasi rasional dari perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut,” katanya.
Dia memandang, hilangnya kesadaran akan pentingnya membangun preseden positif dalam praktik demokrasi dari tingkat terbawah dari elit politik menunjukkan kehampaan pemahaman untuk mewariskan nilai-nilai terbaik ke generasi mendatang.
“Bila Pilkades yang selama ini dianggap sebagai praktik demokrasi terbaik dari tingkat pemerintahan terbawah, maka penyayang elit politik akan praktik ini akan menunjukkan bahwa inisiatif menggergaji praktik terbaik justru datang dari aktor pemegang kekuasaan itu sendiri,” kata Nur.
Jokowi harus tolak
Berangkat dari itu, Nur meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyingkap persoalan dekadensi etika kepemimpinan di tengah capaian kinerja yang minim dan kemudian menjadi teladan buruk yang diikuti oleh para kepala desa.
Menurutnya, Jokowi dan DPR harus menolak wacana perpanjangan masa jabatan kades dan menunda rencana merevisi UU Desa sampai setelah Pemilu 2024.
Selain itu, dia juga mendesak Jokowi DPR untuk fokus dalam melakukan penataan terhadap pemerintahan desa, sehingga menghilangkan peluang korupsi dan memperbaiki kehidupan demokrasi di tingkat desa.
“Semua pihak, khususnya Apdesi, untuk menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dan fokus meningkatkan kehidupan berdemokrasi di tingkat desa,” katanya.
Para kepala desa yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) sebelumnya ramai-ramai datang ke Jakarta untuk Berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/1).
Mereka menuntut pergantian masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun dalam satu periode. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Desa.
Merespon desakan itu, Jokowi tak ambil pusing. Dia mengaku tak mempermasalahkan setiap aspirasi masyarakat. Menurutnya hal itu bisa disampaikan ke DPR, klaimnya.
Netizen berkomentar sulit membayangkan jika seorang kepala desa ingin menjabat dalam waktu yang begitu lama. Lalu, di mana ada jaminan proses kaderisasi dalam rangka membina kecakapan seorang kader birokrasi dan pemerintah?
“Kepala desa itu setara dengan pejabat eselon-IV atau kepala seksi. Jika dia menjabat sampai 27 tahun, maka akankah selama itu dia hanya puas menjadi pejabat setingkat kepala seksi/. Padahal normalnya seorang kepala desa dalam hitungan 10 tahunan diharapkan memiliki kemampuansebagai pejabat eselon II atau pada tingkat direktur,”tulis seorang mantan pejabat di kementerian.
“It doesn’t make sense,” katanya menutup penjelasannya di media sosial.