Daily News|Jakarta – Tim BBC East Asia Visual Journalism mengkritisi kebijakan Presiden Joko Widodo dalam menetapkan pembatasan sosial berskala besar ketimbang ‘lockdown’ dalam merespons wabah Covid-19.
Beberapa pembeli tengah mengerubungi Yanto, seorang penjual sayur keliling yang setiap hari menawarkan dagangannya di sekitar Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Jumat(3/4) pagi.
“Saya beli bahan dagangan di Pasar Bendungan Hilir. Kalau pasar masih buka, saya tetap berjualan di (Setiabudi) gang I, II, dan III,” ujar Yanto sambil memotong ayam pesanan pembeli di gerobaknya.
Yanto merupakan bagian dari masyarakat Indonesia dari kaum kelas menengah bawah yang mesti berkeliling saban hari untuk menghidupi keluarganya. Istrinya tidak bekerja, jadi dia lah satu-satunya tulang punggung keluarga.
Baginya, dia masih akan tetap berjualan, sekalipun Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan PP Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Dalam beleid tersebut, pembatasan sosial atau yang kerap disebut social distancing meliputi penutupan sementara sekolah atau tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pembatasan sosial yang dimaksud Jokowi, berbeda dengan karantina wilayah yang menurut School of Blatvanik, Universitas Oxford, adalah pembatasan kegiatan bepergian atau kerumunan di suatu daerah.
Hingga 5 April 2020, Kementerian Kesehatan mencatat 2.273 pasien corona dengan 164 pasien sembuh dan 198 meninggal dunia. Kasus terkonsentrasi di Jakarta.
Jumlah kasus diprediksi akan terus memuncak. Tim BBC East Asia Visual Journalism mengajak Anda untuk menebak prediksi kasus di Jakarta melalui grafik di bawah ini.
Ada dua skenario. Pertama, jika pembatasan sosial dilakukan seperti sekarang dan tiga dari 10 penduduk Jakarta berdiam di rumah.
Skenario kedua, jika karantina wilayah dilakukan secara masif di mana lima dari 10 penduduk Jakarta tak keluar rumah dan menjaga jarak.
Data prediksi di atas menunjukkan jika pemerintah hanya mengimplementasikan pembatasan sosial maka diprediksi jumlah kasus yang terlaporkan akan mencapai 872.346 kasus di mana 60% pasien berpotensi meninggal dan 40 persen sembuh. Puncak kasus baru terjadi pada Agustus 2020.
Sementara, jika dilakukan karantina wilayah, maka jumlah kasus di Jakarta diprediksi mencapai 46.425 pada Oktober 2020 dan separuh pasien meninggal. Puncak kasus baru akan terjadi pada Juni 2020.
Dua skenario ini terjadi jika implementasi kebijakan pembatasan sosial atau karantina wilayah secara tegas dimulai pada 7 April 2020 dan pelaporan kasus baru membutuhkan waktu 14 hari untuk pengujian sampel.
Angka ini merujuk pada simulasi model proyeksi SEIQRD oleh tim simulasi dan permodelan Covid-19 Indonesia (SimcovID) yang terdiri dari dosen dan peneliti di 10 kampus baik di luar negeri maupun Indonesia di antaranya Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, Universitas Nusa Cendana, Essex University, Oxford University, dan Khalifa University.
Dalam permodelan, tim melihat dari sejumlah parameter dari data yang dibuka ke publik untuk menghitung jumlah orang sehat dan mungkin sakit, populasi sehat yang terpapar infeksi, populasi yang sudah terinfeksi namun belum tercatat positif (hidden case), populasi yang terinfeksi dan sudah tercatat positif kemudian di karantina (reported case), sembuh setelah tercatat positif, sembuh sebelum tercatat positif, dan meninggal.
Sementara itu, permodelan lain dilakukan oleh Alumni Matematika UI memprediksi kasus akan melonjak hingga 600.000 kasus pada Agustus 2020 jika minim intervensi dari pemerintah dan tidak ada kebijakan yang tegas untuk membatasi kegiatan. Kasus baru tertinggi diprediksi pada 6 Juni 2020 sebanyak 11.318 kasus.
Menekan angka sebaran
Di Indonesia, kasus pandemi ini masih terus meningkat, sama halnya dengan Malaysia dan Thailand. Sementara negara yang sudah berhasil menekan angka sebaran di antaranya China dan Korea Selatan.
Grafik berikut menunjukkan negara mana saja yang berhasil menekan angka sebaran dengan menunjukkan data kasus baru tiap harinya dan rata-rata tujuh hari.
Di China, kasus memuncak pada pertengahan Februari dan mulai menurun pada minggu ketiga di bulan yang sama setelah diberlakukan karantina wilayah sejak akhir Januari 2020 di beberapa provinsi.
Pada pekan keempat Maret, sempat tidak ditemukan kasus baru di Provinsi Hubei, provinsi di mana virus pertama kali ditemukan.
Pada Rabu lalu (1/4), hanya ada penambahan satu kasus dan satu kematian di Hubei, angka terendah sejak 22 Januari 2020.
Di Korea Selatan, kasus sempat meningkat pada akhir Februari akibat klaster gereja di provinsi Daegu. Lonjakan kasus baru tertinggi mencapai 813 pada 29 Februari 2020.
Korea Selatan kemudian berhasil menekan angka sebaran sejak pertengahan Maret setelah melakukan tes
Indonesia, Thailand, dan Vietnam cenderung mempunyai pola yang mirip. Lengkungan kurva masih terus menanjak dan belum bisa ditekan.
Sejak pertama kali kasus corona di Indonesia ditemukan pada awal Maret, lonjakan kasus baru tercatat tertinggi pada 27 Maret 2020 dengan 153 pasien baru.
Singapura dan Jepang mulai menekan angka sebaran setelah lonjakan terus-menerus terjadi hingga pertengahan Maret 2020.
Di Malaysia, kasus baru bermunculan sejak klaster jemaah tabligh di Masjid Seri Petaling, Kuala Lumpur mencuat. Pada 28 Februari hingga 1 Maret, ribuan orang berkumpul dalam acara keagamaan tersebut. Per 31 Maret 2020, otoritas Malaysia menyebutkan sebanyak 1.290 jemaah dinyatakan positif.
Tanggapan pemerintah
Setiap negara punya kebijakan masing-masing dalam menangani pandemi ini. China misalnya, menetapkan karantina wilayah di kota Wuhan, Hubei sejak 23 Januari hingga 8 April 2020.
Karantina ini diikuti dengan penutupan sekolah, pembatasan kegiatan di dalam kota, dihentikannya transportasi publik, dan pembatasan bekerja dari kantor.
Studi gabungan dari sejumlah kampus di China, Amerika Serikat, dan Inggris bertajuk “The impact of transmission control measures during the first 50 days of the COVID-19 epidemic in China” menyebutkan kasus di China berhasil ditekan dengan karantina wilayah Wuhan. Karantina ini kemudian diikuti oleh kota-kota lainnya di provinsi berbeda.
Karantina di Wuhan menekan laju penyebaran selama tiga hari. Kota lain yang menerapkan karantina wilayah mampu mengurangi jumlah kasus hingga sepertiga total kasus, lebih banyak dibandingkan wilayah lain yang menerapkan kebijakan serupa di kemudian hari.
Studi lain dari Pusat Permodelan Matematika untuk Penyakit Menular dari London School of Hygiene & Tropical Medicine di Inggris menyebutkan kebijakan pembatasan fisik (physical distancing) dan pelarangan bepergian di Wuhan mampu mengurangi masa epidemi dan jumlah kasus.
Dalam proyeksi mereka hingga akhir tahun ke depan, jika karantina wilayah dilakukan hingga awal April maka dapat mengurangi setidaknya 92% dari total kasus sekarang pada Juni 2020 dan mengurangi hingga 24% pada akhir tahun nanti.
Bagaimana negara lain di Asia Tenggara dan Asia Timur merespons pandemi ini?
Semenjak mencuatnya kasus klaster Jamaah Tabligh, Malaysia melakukan karantina ekstrem di seluruh negara per 18 Maret 2020. Thailand juga memberlakukan karantina lokal di sejumlah wilayah.
Per 3 April 2020, Perdana Menteri Thailand memberlakukan jam malam, setiap pukul 22.00-04.00 warga dilarang keluar rumah, kecuali petugas medis dan pekerja keamanan.
Korea Selatan tidak menerapkan kebijakan karantina, tetapi menambahkan fasilitas kesehatan dan melakukan tes Covid-19 masif. Per 31 Maret 2020, setidaknya 823 tes dilakukan per 100.000 populasi atau ratusan kali lipat dari tes yang dilakukan Indonesia.
Perlu juga dicatat, fasilitas kesehatan di negara tersebut termasuk unggul dibandingkan China, Singapura, atau Indonesia. Jumlah dokter di Korea empat kali lipat dibandingkan Indonesia, menurut data WHO per 2017.
Jumlah kasur di rumah sakit di Korea yakni 11 per 1.000 penduduk atau hampir 10 kali lipat dari yang dipunya Indonesia.
Singapura juga tak menerapkan sistem karantina wilayah, melainkan menguatkan sistem penelusuran kontak pasien dan melibatkan detektif sehingga mampu menekan angka.
Di Indonesia, karantina wilayah tidak menjadi opsi kebijakan nasional, tetapi sejumlah kota telah menerapkannya, seperti Tegal, meski kemudian banyak menuai protes dari warganya.
Selain karantina wilayah, penerbangan internasional pun dibatasi di sejumlah negara. Singapura, Malaysia, dan Indonesia termasuk negara yang lebih dulu melarang kedatangan penerbangan langsung dari China di awal masa pandemi.
Korea Selatan masih membuka jalur tersebut, hingga pekan terakhir Maret, mulai menutup jalur masuk penerbangan internasional. Hal serupa dilakukan Thailand dan Malaysia.
Terkait respons pemerintah di seluruh dunia, WHO menyarankan perlunya tindakan tegas dari tiap negara untuk melawan pandemi dengan menerapkan kebijakan yang berpihak dan melindungi masyarakat, apapun skenario yang dipilih.
Menanggapi kebijakan yang diambil Thailand untuk menerapkan karantina wilayah, misalnya, Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara, Poonam Khetrapal Singh, berharap pengaruhnya terhadap angka penyebaran virus akan segera terlihat.
Selain itu, WHO juga menyarankan perlunya perhatian pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan tiap negara.
“Kelangkaan alat medis untuk melindungi para tenaga kesehatan memang menjadi permasalahan global. Apabila kita tidak bisa melindungi mereka dan tidak bisa mencukupi kebutuhan untuk tes Covid-19, maka kita akan kesulitan melawan pandemi ini,” ujar Singh dalam pernyataan pers.
Desakan ‘lockdown’
Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menyebutkan pemerintah tak mengambil kebijakan karantina wilayah, atau lockdown, karena dinilai berpotensi menimbulkan kekacauan sosial jika tidak ada perencanaan yang terstruktur.
Alih-alih, pembatasan sosial berskala besar melalui Peraturan Pemerintah dinilai sudah cukup. Terlebih, ada maklumat Polri yang bakal memberikan ancaman pidana bagi warga yang berkerumun
Terkait mudik, Presiden Joko Widodo juga tidak secara resmi melarang warga untuk kembali ke kampung halaman, melainkan mengimbau agar membatasi pergerakan (physical distancing).
Pemerintah berencana mengganti libur hari raya ke hari yang lain dan memberikan fasilitas mudik untuk hari pengganti tersebut.
Berbeda dengan pemerintah pusat, sejumlah pemerintah daerah seperti Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, melarang warganya untuk mudik.
Terkait pergerakan massa ini, ilmuwan Tim SimcovID resah karena memprediksi pembatasan sosial tak cukup menekan angka penyebaran virus ini.
“Dari permodelan, kebijakan karantina wilayah adalah yang paling baik karena puncak kasus akan terjadi lebih cepat dan kasus lebih sedikit,” ujar Ketua Tim SimcovID sekaligus Ketua Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi ITB, Nuning Nuriani, saat dihubungi Kamis (2/4).
Menurut Nuning, dengan karantina wilayah maka asumsinya akan ada pembatasan fisik maupun sosial di masyarakat. Jika ditemukan satu kasus baru maka akan mudah dilacak (contact tracing) dan dilakukan uji sampel dahak dan lendir untuk menentukan kasus baru.
Hal yang sama diungkapkan Ikatan Alumni Matematika UI, Barry Sianturi. Barry ketika dihubungi menekankan, “karantina wilayah skala besar perlu dilakukan sesegera mungkin.” (HMP)
Discussion about this post