Daily News|Jakarta –Penulis Syafril Sjofyan membahas gonjang-ganjing soal Perpres Miras dan mempertanyakan kenapa Perpres itu harus ada dan kemudian ternyata dibatalkan. Dia juga mencoba membaca ‘bahasa tubuh’ Presiden Jokowi. Penulis adalah mantan aktivis 1977-78, pengamat kebijakan publik, yang menjadi Sekjen FKP2B.
“Presiden Jokowi kemaren tampil, jika diperhatikan bahasa tubuh sepertinya tidak nyaman, menyampaikan bahwa lampiran III Peraturan Presiden No.10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal di cabut, bla..bla.”
Tentunya mencabut/merubah suatu Peraturan Presiden (PERPRES) termasuk lampiran, tidak bisa hanya secara lisan, saya cabut lampiran, selesai?. Karena PERPRES bukan ketentuan hukum setaraf edaran di tingkat kelurahan atau RT/RW?, Tidak cocok langsung dicopot dari papan pengumuman.
Mengatur Republik Indonesia tidak bisa secara ugal-ugalan dan seenak udel, bagaikan titah raja. Harus ada peraturan setingkat Peraturan Presiden untuk mencabut/merubah Perpres terdahulu. Perlu diingat jangan lagi dipertunjukankan kedunguan berulang kali, dalam mengelola Negara yang besar ini.
Ada berbagai kalangan meminta agar kejadian serupa tidak berulang maka sebelum menandatangani apapun entah itu kebijakan atau apapun maka Presiden diharapkan membaca lengkap semua draft yang disodorkan oleh bawahan artinya presiden dianggap seroboh.
Masalahnya bukan pada sekadar kecerobohan tanda tangan PERPRES, tapi ada pada payung hukumnya UU Cipta Karya, jika dirunut dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang antara lain mengubah beberapa ketentuan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 12 ayat 2 mencantumkan bidang usaha yang tertutup dan minuman keras tidak termasuk sebagai bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal
UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 atau lebih dikenal sebagai UU Omnibuslaw dalam proses kelahirannya mengalami kondisi yang kontroversial, berjilid-jilid unjuk rasa masyarakat termasuk buruh dan mahasiswa menolak Omnibuslaw dan terjadi diseluruh kota besar. Ormas besar dan para akademisi diperbagai perguruan tinggi secara ilmiah menolak UU tersebut.
Terjadi banyak korban kekerasan dalam mengatasi unjuk rasa, bahkan sekarang masih ada yang meringkuk ditahanan sebagai korban UU Omnibuslaw seperti Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dkk.
Waktu itu Jokowi pasang badan bahwa Omnibus law dianggap menyerderhanakan perundang-undangan untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian Presiden Jokowi termasuk Wakil Presiden Maruf Amin paham betul, adalah aneh jika wapres merasa terkejut dengan PERPRES yang didalamnya terkandung investasi miras. Termasuk pembantu Presiden, para menteri terutama yang terkait sudah sangat paham betul dan menyadari sepenuhnya tentang PERPRES dan UU tersebut dilahirkan dengan segala resikonya.
Memang aneh diawal periode pertama Presiden Jokowi pernah menyindir DPR terlalu banyak memuat UU, namun dengan UU Omnibus law akan banyak/ ratusan Peraturan Presiden yang akan dibuat oleh Presiden sebagai turunan UU Cipta Kerja, bukan menyederhanakan UU yang konon hampir 1000 halaman, malah akan ditambah ratusan PERPRES. Ruwet dan rumit.
Peraturan Presiden No.10 Tahun 2021 yang mengatur miras “heboh” sehingga ormas MUI, NU, Muhammadiyah langsung bereaksi sehingga “terpaksa” Presiden Jokowi hanya mencabut lampiran PERPRES Miras tersebut, menurut pengamat politik M. Rizal Fadillah mencabut lampiran hanya tipu-tipu alias nge prank istilah milineal sekarang. Karena UU diatasnya malah membuka industri Miras.
Kasus PERPRES Miras tersebut, sebagai salah satu bola es akan ada ratusan PERPRES sebagai turunan dari UU Cipta Kerja bermasalah karena UU payungnya cacat bawaan sejak lahir tidak partisipatif dilahirkan premature, di bedah dengan dikejar tayang di masa pandemi Covid 19. Artinya kasus PERPRES Miras ini memang di desain untuk kepentingan sekelompok pengusaha dan investor, yang sepenuhnya di pahami oleh Jokowi, bukan sekadar kecerobohan tanda tangan.
Lebih lanjut dengan adanya ratusan PERPRES sebagai turunan UU Cipta Kerja termasuk UU Cipta Kerja harus terus dipelototi oleh semua pihak agar tidak merugikan rakyat secara keseluruhan. (DJP)
Discussion about this post