Daily News|Jakarta –Di zaman Orde Baru dulu masjid-masjid tertentu dikunjungi intel, terutama ketika shalat Jumat atau pengajian. Di zaman Orde Baru pernah Islam ditakuti, karena itu sang intel yang ditugasi harus membuat laporan pandangan mata: apa yang dilihat dan didengar. Masa itu telah berlalu, tetapi tak lama setelah reformasi mematai-matai masjid semakin menjadi-jadi.
Ini yang membuat marah penulis Nasrudin Joha.
“Pak Idham, Polisi itu tugasnya menangkap penjahat, bukan memata matai masjid. Sejak kapan masjid jadi sarang penjahat? “ sergahnya di awal artikel yang viral.
“Anggota DPR saja yang banyak ketangkap KPK, menjadi penjahat yang nyolong uang negara, kantornya tidak dimata-matai polisi. Kenapa masjid di mata-matai ? Kejahatan apa yang dilakukan masjid? “
Anggota parpol saja, banyak yang juga ketangkap KPK, menjadi penjahat yang menggasak uang negara, kantornya tidak dimata-matai polisi. Kenapa masjid di mata-matai ? Kejahatan apa yang dilakukan masjid ?
Kami ini ingin ibadah khusuk di masjid, bukan diganggu sama orang dengan seragam polisi, memfoto masjid, jamaah, hingga Penceramahnya, tegasnya.
“Sejak polisi masuk masjid, ibadah kami jadi tidak khusuk. Kehadiran polisi di masjid bukan memberi ketenteraman, tetapi malah menimbulkan ketidaknyamanan. Sebenarnya apa yang dipersoalkan dari masjid ? Menebar permusuhan ? Menebar kebencian ? Permusuhan dan kebencian seperti apa ?
Kami di masjid memang diajari untuk membenci dan memusuhi syetan, perilaku syetan, mengingkari perbuatan syetan dan berperang melawan syetan. Jadi, kami ke masjid itu untuk menunjukan bahwa kami bermusuhan dengan syetan, dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT. Terus, dimana letak kesalahannya?
“Pak Idham, katanya Pak Idham dekat dengan Islam, menghormati ulama. Coba ditegur itu anggotanya, jangan slanang slonong ke masjid untuk memata-matai!”
Kalau ke masjid itu sholat, ta`lim, ibadah, bukan mencurigai dan memata-matai. Kalau mau jadi polisi yang melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat, jangan memusuhi masjid. Itu tendensius ! Masjid diawasi, tetapi Gereja dan Pura dibiarkan bebas menjalankan ibadatnya. Kami umat Islam juga ingin bebas dan nyaman beribadah, keluhnya.
Banyak yang benci polisi di era Pak Tito, di era Pak Idham ini semestinya polisi berbenah, bukan malah tambah parah memusuhi umat Islam. Ingat Pak ! Semua akan mati, semua akan diminta pertanggungjawaban di akherat kelak.
Masalah negara ini sudah banyak, jangan tambah masalah dengan memusuhi umat Islam. Mengawasi masjid, itu sangat menyinggung perasaan kami. Sejak kapan, kami dituding penjahat sehingga perlu diawasi ?
Harusnya, polisi awasi 24 jam proses serapan anggaran, baik di pusat maupun di Pemda. Mereka ini, maling yang mencuri duit rakyat. Bukan masjid. Harusnya, polisi awasi perbatasan agar bisa cek peredaran narkoba. Sudah rusak generasi ini oleh narkoba, jangan malah mengawasi masjid yang sedang sibuk membina remaja.
Belum ada gebrakan di era Pak Idham, kasus Bu sukma yang menghina Rasulullah SAW saja belum diperiksa. Sekarang, polisi malah menebar teror dengan mengawasi masjid. Ini keterlaluan Pak!
Kita mayoritas di negeri ini, dan karena kita negeri ini dimerdekakan dengan darah, airmata, bahkan nyawa. Mengapa kita yang dicurigai? Mengapa agama-agama lain juga tidak dipantau? Apakah radikalisme itu hanya dituduhkan pada agama Islam? Apakah kebijakan ini tidak counter-productive yang membuat kecurigaan umat, siapa yang membuat kebijakan ini, kata seorang pembaca.
“Kok seperti kita tinggal di Xinjiang, di mana rejim komunis melakukan monitoring, persekusi, bahkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Islam?” tanyanya. (HMP)
Discussion about this post