Daily News|Jakarta – Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) supaya dilakukan penyederhanaan birokrasi termasuk penyetopan rekrutmen CPNS.
Dengan instruksi tersebut, KemenPAN RB melakukann moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama 2 tahun.
Sementara kementerian keuangan RI menghentikan penerimaan CPNS selama 5 tahun termasuk dari STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara).
Walaupun pemerintah menyetop penerimaan CPNS, tetapi tidak di stop penerimaan akademisi, polisi dan TNI menjadi abdi negara.
Pemerintah memastikan tahun ini tidak ada Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Musibah Bagi Daerah
Kebijakan penyederhanaan birokrasi dapat dipahami karena jumlah pegawai pemerintah sudah sangat besar.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) merilis database nasional pegawai negeri sipil di seluruh Indonesia per Juni 2019 sebanyak 4.28.918 orang (Kompas.com, 21 Oktober 2019).
Badan Kepegawaian Negara (BKN) merilis database nasional jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia per Juni 2019.
Dampak dari besarnya jumlah PNS, pemerintah dalam tahun 2020 mengalokasikan anggaran belanja pegawai dalam RAPBN sebesar Rp 416,6 triliun (katadata.co.id, 16 Agustus 2019).
Belanja pegawai dalam RAPBN 2020 naik 9,06% menjadi Rp 416,6 triliun. Namun, gaji pokok PNS dipastikan tak naik tahun depan.
Secara rasional, bisa dipahami jika pemerintah melakukan moratorium penerimaan CPNS karena jumlah pegawai negeri sipil sudah sangat besar. Selain itu, anggaran belanja pegawai negeri sipil amat besar.
Pada hal, jika sebagian dana dari belanja pegawai bisa dihemat, maka akan sangat bermanfaat dalam membiayai pembangunan yang amat diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi.
Akan tetapi menyetop penerimaan pegawai negeri sipil merupakan malapetaka bagi daerah.
Pertama, berbagai daerah di Indonesia pada umumnya belum berkembang bisnis, sehingga tidak ada lapangan kerja yang terbuka di swasta.
Kedua, pusat rekrutmen pegawai masih pada pemerintah melalui CPNS. Jika pemerintah menyetop penerimaan pegawai negeri sipil, maka tidak ada rekrutmen pegawai. Dampaknya, pengangguran merajalela di daerah.
Ketiga, penggunaan teknologi digital untuk mengembangkan bisnis di daerah masih langka, sehingga peluang bisnis masih terbatas.
Masyarakat yang ingin menjadi PNS atau sekolah kedinasan STAN harus bersabar karena pemerintah tak akan membuka lowongan selama beberapa tahun ke depan.
Kemajuan teknologi dan digital, dan persaingan bebas memaksa setiap daerah untuk hidup dan berkembang dengan kemampuan diri sendiri.
Sejatinya otonomi daerah, memaksa setiap pemimpin daerah berkreasi mengembangkan daerahnya sesuai potensi yang dimiliki. Akan tetapi, sistem pemerintahan yang kita bangun membuat daerah terus “menyusu” ke pemerintah pusat.
Dampaknya, daerah bergantung hidup matinya di pusat. Pada saat pandemik covid-19 menghantam Indonesia, pemerintah pusat mengalami masalah berat dalam bidang keuangan, seluruh daerah merasakan dampaknya.
Oleh karena itu, momentum pandemik covid-19, sebaiknya pemerintah pusat dan daerah mengubah mindsed dan mencoba keluar dari lingkaran setan agar daerah tidak terus-menerus “menyusu” ke pemerintah pusat, karena sangat berbahaya bagi kelangsungan Indonesia.
Kalau semua daerah di Indonesia, tidak lagi bisa menyusu ke pemerintah pusat karena sudah tidak punya kemampuan “menyusui,” maka Indonesia akan kolaps.
Oleh karena itu, momentum covid-19, daerah harus didorong untuk berkembang dan maju, jangan dibuat tergantung pada pemerintah pusat, sebab berbahaya bagi Indonesia dan dampaknya daerah tidak akan pernah berkembang apalagi maju. (DJP)
Discussion about this post