Daily News|Jakarta – Mochtar Kusumaatmadja adalah seorang diplomat ulung. Kelihaiannya tercatat saat negosiasi batas teritorial perairan Indonesia lewat Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957.
Penggagas Wawasan Nusantara itu menentang UU buatan Belanda yang menyebut laut Indonesia hanya berjarak 3 mil dari garis pantai. Sejak saat itu, Mochtar menilai Indonesia berhak atas wilayah laut menjadi 12 mil.
Deklarasi Juanda menjadi dasar bagi Mochtar menjadi Ketua Delegasi Indonesia untuk maju dalam perundngan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Dalam siding-sidang UNCLOS Mochtar menonjol dengan berbagai pemikirannya yang menjadi terobosan dalam pembentukan hukum internasional yang baru, sesuai dengan kepentingan Indonesia dan negara-negara berkembang.
Mochtar berhasil dengan pengesahan UNCLOS 1982, dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia beserta mayoitas negara-negara anggota PBB.
Hasilnya: wilayah Indonesia, wilayah kedaulatan dan Zona Ekonomi Eksklusif bertambah menjadi tiga kali lipat dari wilayah internasional sebelumnya. Yang terpenting, ide-ide NKRI menjadi kuat karena kepulauan Indonesia telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan oleh perairan internasional, catat Redaksi DNI.
Penambahan wilayah dan penyatuan wilayah NKRI itu dilakukan hanya dengan diplomasi, tanpa menembakka satu peluru.
“Jadi kita nambah wilayah perairan, dua kali dari wilayah darat, hanya lewat diplomasi. Orang lain kan perang, kita tidak, dan berhasil [lewat diplomasi]. Dia konseptor Deklarasi Juanda,” ujar adik Mochtar, Sarwono Kusumaatmadja, kepad Kumparan, Minggu (15/11).
Mochtar sebagai Menteri Kehakiman dan kemudian ditunjuk Pak Harto menjadi Menlu untuk menjamin tercapainya tujuan nasional: penyatuan wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Menlu Mochtar sebagai Ketua Delegasi RI ditugaskan mengawal kepentingan Indonesia pada konferensi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Jenewa.
Pada sidang UNCLOS itulah pertama kali Indonesia tampil di forum internasional untuk memperoleh pengakuan terhadap klaim nasional yang termaktub dalam Deklarasi PM Juanda.
“Klaim teritorial itu diumumkan oleh Perdana Menteri Juanda, Desember 1957, perairan nusantara,” tutur Sarwono.
Kini, Mochtar terbaring sakit. Di usia senjanya, pria 92 tahun itu mengalami gangguan motorik yang membuat geraknya terbatas.
Mochtar sudah sakit sejak 2015. Setelah dirawat intensif di rumah sakit, pria kelahiran 17 Februari 1928 itu dirawat oleh anggota keluarga di rumahnya, di Jakarta.
“Sedang dirawat di rumah, dijaga dirawat anggota keluarga. Itu penyakit degeneratif, motoriknya kena. Dan sudah dirawat intensif, tetap saja. Ya, sakit tua, umur 92 tahun,” kata Sarwono.
Eks anggota Tentara Pelajar yang mandiri
Sarwono mengenang bagaimana masa muda Mochtar hingga ikut berkontribusi untuk Indonesia. Menurut Sarwono, sejak kecil, Mochtar adalah pribadi yang sangat mandiri, bahkan dalam membiayai pendidikannya sendiri.
“Dia pernah menjadi Tentara Pelajar Batalyon 400, menyelesaikan SMA-nya di Jakarta, masuk UI, semuanya ongkos sendiri,” imbuh Sarwono.
Mochtar, dari muda, sudah ditandai sebagai orang yang pasti sukses. Dia enerjik, cerdas, anak gaul, mandiri, semua keperluan dia diongkosin sendiri sejak SMA, kata Sarwono yang pernah menjabat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara RI.
Lewat kakaknya, Sarwono banyak belajar soal ketekunan dan kemandirian. Sarwono juga bercerita bagaimana Mochtar bisa membiayai hidupnya lewat sebuah layar tancap.
“Misalnya waktu mahasiswa, dia cari duitnya keliling, bikin bioskop layar tancap di kampung-kampung, berdua Hamid at-Tamimi, [Hamid] jadi sekretaris wakil kabinet zaman Pak Soeharto, tahun 1952-an,” ungkap Sarwono.
Mochtar kasih contoh tentang ketekunan, kemandirian, juga tentang persahabatan, temannya banyak sekali.
Pengkritik Soekarno
Mochtar adalah salah satu tokoh yang kerap mengkritik Manifesto Politik Soekarno. Dikutip dari Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 karya Rosihan Anwar, pernyataan Mochtar membuat dirinya diberhentikan dari jabatan Guru Besar Universitas Padjajaran.
Ketika itu, tahun 1962, mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) melancarkan demonstrasi terhadap Mochtar. GMNI menuntut Mochtar karena dianggap anti-Manipol-Usdek (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin).
Mochtar pernah menyebut ‘[Jawaharlal] Nehru lebih berpengalaman dari Soekarno dalam sosial politik luar negeri’. Aksi GMNI yang sampai ke telinga Soekarno di Tokyo membuatnya mengirimkan telegram dan memberhentikan Mochtar.
Meski diberhentikan dari Unpad, studi Mochtar tidak berhenti. Ia melanjutkan studi S2 ke Universitas Yale, Amerika Serikat.
“Waktu itu Bung Karno marah besar, waktu itu kejadiannya sangat memilukan karena dia (Mochtar) diberhentikan di Unpad, dia kehilangan pekerjaan, cuma dua pihak yang terus mempekerjakan dia, satu, Universitas Parahyangan, kedua, Sesko AD,” kata Sarwono.
“Oleh yang lain dijauhi sampai dia enggak bisa cari duit, sampai jual perabotan segala macam, dan waktu perabotannya dipindahkan ke tempat ibu saya, cukup dimuat pakai mobil pick up itu isinya, lalu dia ke Amerika dapat beasiswa sama keluarga,” tuturnya.
Mulai menjabat posisi Menteri
Setelah ada pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, Mochtar akhirnya pulang ke Tanah Air dan melanjutkan studi S3 di Universitas Padjajaran. Lalu, bertolak kembali ke AS untuk melanjutkan pendidikan di S3 Universitas Harvard dan Universitas Chicago, Amerika Serikat.
“Setelah itu beliau menjadi rektor Unpad, menjadi Menteri Kehakiman tahun 1974-1978, lalu menjadi Menteri Luar Negeri tahun 1978-1988,” kata Sarwono.
Usai jabatan menteri berakhir, Mochtar menekuni bidangnya dengan menjadi konsultan hukum dan mediator. Mochtar juga tetap menjadi guru besar.
“Sesudah itu saya masuk kabinet jadi Menpan, kemudian beliau jadi konsultan hukum, juga menjadi mediator dalam pertikaian perbatasan antara Kuwait dengan Irak,” tutur Sarwono.
“Lalu dia pulang, melanjutkan kariernya sebagai guru besar, lalu dia sakit. Sebelumnya juga sudah mulai [sakit], tapi enggak begitu kentara,” sambungnya.
Semoga cepat sembuh dan sehat selalu, Pak Mochtar. (HMP)
Discussion about this post