Daily News|Jakarta – Ustadz Fahmi Salim, pendiri Al-Fahmu Institute menyatakan Pancasila lahir dari rahim umat Islam. Inilah hadiah terbesar umat Islam untuk kemerdekaan dan persatuan Indonesia.
Karena itu, sangat mengherankan jika ada yang masih mempertentangkan antara Pancasila dan Islam. Apalagi, yang menganggap agama sebagai ancaman bagi Pancasila. Sebuah pernyataan ahistoris, akibat tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri, katanya.
Menurut penjelasan Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah di program “NGESHARE, Ngaji Dulu, Alim Kemudian, sebenarnya sudah mengubur semua anggapan yang keliru dan kekhawatiran sebagian kalangan tentang hubungan Islam dan Pancasila. Karena, terbukti tokoh-tokoh Islam, diantaranya dari Muhammadiyah ikut melahirkan Pancasila dan merawatnya hingga saat ini, kutip Fahmi.
“Perbedaan faham dan tafsir terhadap Pancasila adala wajar, sebuah dinamika berbangsa, tapi jangan meruntuhkan harmoni dan kebersamaan dalam hidup berbangsa. Ibarat sebuah keluarga biasa diselingi konflik, tapi setelah itu kembali akur, dan tidak perlu memutuskan ikatan kekeluargaan.”
“Sebagai junior dari ayahanda Haedar Nashir, saya tentu memiliki tanggungjawab untuk melanjutkan estafeta perjuangan beliau selain berkiprah di Muhammadiyah, juga untuk menjaga keutuhan bangsa ini.”
Menurut beliau, kita harus bersyukur bahwa Indonesia adalah negeri yang religius dan masih mempertahankan nilai-nilai agama dalam sendi berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, karena inilah kunci keberkahan sebuah bangsa, sebagaimana firman Alloh Ta’ala dalam surat Al A’raf ayat 96, yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Ayat ini mengingatkan kita, bahwa keberkahan bangsa ini akan dicabut, jika tak lagi peduli dengan nilai-nilai agama.
Masih ingat, menjelang proklamasi, bangsa ini nyaris pecah. Namun, umat Islam rela berkorban dan, akhirnya melakukan kompromi dengan mencoret tujuh kata dalam piagam Jakarta, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena secara filosofis sudah terwakili dengan Sila Pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Rumusan final Pancasila sudah disepakati pada 18 Agustus 1945, dan tidak boleh diotak-atik, karena akan melahirkan berbagai kecurigaan dan ketegangan baru.
Tak ada yang tidak menghormati Bung Karno, sebagai salah satu inisiator Pancasila yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Namun, jangan sampai menimbulkan tafsir baru, kata Haedar Nashir, dengan memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Karena itu, semua elit politik harus mampu menahan diri, untuk tidak melanjutkan membahas RUU Haluan Ideologi Negara (HIP).
Bangsa ini dibangun bersama-sama. Dahulu, para ulama menggelorakan jihad untuk melawan para penjajah. Begitu banyak, umat Islam yang gugur menjadi syuhada demi meraih kemerdekaan. Menjelang kemerdekaan pun, para tokoh Islam terlibat aktif untuk mendirikan negeri ini, antara lain dari Muhammadiyah.
Sebut saja KH Mas Mansur merupakan anggota dari Empat Serangkai bersama Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara berperan besar dalam persiapan Kemerdekaan. Kemudian ada juga tiga tokoh penting Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir, dan Mr. Kasman Singodimedjo bersama para tokoh lalinnya mengambil peran aktif di Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Perjalanan bangsa ini diwarnai berbagai dinamika politik, dengan munculnya ekstrimisme, baik yang membela Pancasila secara berlebihan dengan mengenyampingkan agama, ada pula yang ekstrim menentang Pancasila atas nama agama. Karena itu, bangsa ini jangan lagi ditarik-tarik ke ekstrim kiri atau pun ekstrim kanan.
Yang harus diingat, menurut Haedar Nashir, semua elit negeri ini harus mau memahami hakikat Pancasila, dengan merenungi firman Alloh salah satunya dalam surat Al Isro, ayat 16 bahwa yang tidak mau mendengarkan orang-orang yang menyeru pada kebenaran, maka kaum tersebut akan dihancurkan oleh Allah. Mereka adalah kaum yang melampaui batas.
Begitu pula, umat Islam pun diharapkan tidak perlu emosional menghadapi kontroversi RUU HIP ini. Seperti perumpamaan, jika ingin mengusir nyamuk di kaca, maka jangan melempar kaca dengan benda keras hingga kacanya pecah, cukup membunuh nyamuknya saja.
Sikap moderat ini sudah sejak lama ditunjukan oleh para ulama dan tokoh ormas Islam. Sabagaimana dipertegas Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar sosiologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 2019 lalu, Beliau menyatakan bahwa Islam di negeri ini sejak kedatangan hingga dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia memiliki sifat dasar moderat dalam makna damai, tengahan, toleran, dan terbiasa hidup dalam keragaman. Jadi, radikalisme dan ekstrimisme dianggapnya sebagai ahistoris dibandingkan dengan mayoritas muslim di negeri ini.
Jika umat Islam terkesan reaktif terhadap RUU HIP, sebenarnya wujud pembelaan umat terhadap Pancasila demi menjaga moderasi dalam beragama dan bernegara.
Bagi umat Islam, sudah tidak ada lagi isu mempertentangkan Islam dan Pancasila. Muhammadiyah sendiri sudah mengunci Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy Syahadah yang diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar.
Indonesia dengan dasar Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang negara idaman “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”
“Namun, saya melihat masih saja ada orang yang menjadikan Pancasila sebagai jargon politik yang berbalut dengan pragmatisme. Mereka sering menuduh umat Islam dengan label negatif radikal, ekstrimis bahkan teroris. Kelompok seperti ini, menurut Haedar Nashir susah untuk disadarkan. Ibarat membangunkan orang yang benar-benar tidur, lebih mudah daripada membangunkan orang yang pura-pura tidur.”
Alquranul Karim mengajarkan kepada kita, bahwa suatu bangsa akan runtuh jika menanggalkan sendi-sendi pokoknya. Ibrah ini kita bisa ambil dari Surah An-Nahl ayat 26, “Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari.”
“Kita menyepakati Pancasila sebagai dasar negara karena merupakan cermin dari Surah An-Nuur ayat 55, bawa iman dan amal saleh adalah syarat kejayaan suatu bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan IMAN itu, sedangkan 4 sila lainnya adalah perwujudan AMAL SALEH yang memancar dari keimanan,” tutupnya. (DJP)
Discussion about this post