Daily News|Jakarta –Aksi demo di Hong Kong dan Thailand dimotori oleh mahasiswa muda belia. Merekalah kaum milenial yang otentik. Peranan milenial di Hongkong dan Bangkok menempatkan mereka di depan untuk perubahan.
Perubahan itu mendasar. Bagi milenial Hong Kong, berada di bawah penindasan Beijing dengan Partai Komunisnya adalah masa depan menakutkan. Mereka merasa harus ambil-bagian untuk mengubah masa depan buruk ini dan menjadi pemilik negeri.
Di Thailand, format negara berbentuk dinasti kerajaan kini dipersoalkan. Kaum milenial merasa demokrasi bukan aristokrasi menjadi masa depan yang mereka inginkan. Maka terjadilah bentrok antara demonstran dengan apparat keamanan.
Korban pun berjatuhan. Sampai hari ini stand off masih berlangsung. Merekalah anak muda yang otentik dengan jatidirinya. Ya merekalah kaum milenial.
Ciri-ciri kaum muda penggerak Gerakan politik untuk mengoreksi jalannya politik dan pemerintahan sudah menjadi tradisi di seluruh dunia.
Lalu apa potret milenial Indonesia yang tampak minim untuk menyuarakan concern mereka di bidang demokrasi, HAM, lingkungan hidup dan perburuhan. Bahkan, sebagai besar tokoh-tokohnya telah terkooptasi bahkan mengesankan mendukung kekuasaan, tanpa peduli hidup mereka ke depan dengan kemutlakan pengakuan terhadap HAM, lingkungan hidup dan demokrasi.
Ini cara Indonesia. Berpakaian modis, dengan jaket almamater melekat di tubuh, lima mahasiswi di Makassar, Sulawesi Utara, berjoget ala TikTok di tengah massa demonstrasi Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka bukan tim penghibur, melainkan bagian dari demonstran yang turut menolak produk legislasi.
Video kelima mahasiswi itu viral di jagat maya. Mengundang senyum orang-orang yang melihatnya.
Aksi nyentrik serupa juga semakin mudah dijumpai dalam demonstrasi beberapa tahun terakhir. Setahun sebelumnya, kicau Diaz Berliana tentang salah satu produk make up yang ia pakai saat demi #ReformasiDikorupsi, jadi viral dengan mendapat ratusan ribu retweet.
Diaz, dalam kicaunya, ‘mempromosikan’ sebuah produk make up yang ia sebut mampu menjaga penampilan wajahnya saat berdemonstrasi di bawah terik matahari.
“Demo dari pagi sampe sore, base makeup masih flawless, full coverage dan gaberat. Minyakan sedikit sih tapi wajar karena panas. Very recommended buat demo,” kata Diaz merujuk salah satu produk make up yang ia pakai.
Beragam ekspresi dan cara kreatif yang mewarnai demonstrasi mahasiswa saat ini, secara sadar maupun tidak, telah berhasil meruntuhkan kesan angker yang selama ini melekat pada kata demonstrasi mahasiswa.
Kesan angker di masa lalu itu bukan tanpa alasan. Pada masa Presiden Sukarno hingga Soeharto, demonstrasi mahasiswa mengundang risiko besar. Mulai dari gebukan tongkat aparat, lemparan gas air mata, hingga risiko dipenjara dandrop out.
Demonstrasi mahasiswa di masa lalu bahkan mempertaruhkan nyawa. Sudah banyak mahasiswa yang tewas di tengah aksi. Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II jadi catatan kelamnya.
Unjuk rasa mahasiswa hari ini pun tetap mengundang risiko besar. Seperti terjadi di Kendari, 26 September silam. Dua mahasiswa tewas tertembus peluru aparat dalam aksi #ReformasiDikorupsi.
Namun, kesan angker demonstrasi itu perlahan mulai diimbangi dengan kesan-kesan yang menyenangkan. lewat generasi milenial seperti Diaz dan lima mahasiswi dari Makassar itu, demonstrasi bisa menjadi sebuah sarana demokrasi yang menyenangkan.
Memang, tak sedikit yang mencibir aksi-aksi eksentrik mahasiswa milenial kala berdemonstrasi. Aksi-aksi nyentrik tersebut secara semena-mena digunakan untuk menuding gerakan mahasiswa hari ini telah mengalami dekadensi moral. Namun, hal itu tidak sepenuhnya berdasar.
Pengamat sosial-politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menyebut gerakan mahasiswa hari ini masih berakar pada hal-hal yang mendasar.
Gerakan mahasiswa hari ini, menurut dia, masih bersumber dari respons moral (idealisme) dan intelektual para mahasiswa terhadap kondisi yang menurut mereka sarat ketidakadilan akibat kebijakan pemerintah.
Idealisme mahasiswa hari ini, kata dia, tidak berbeda dengan senior-seniornya di masa lalu. Mereka masih ingin mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa agar negara ini berkeadilan.
“Gerakan mahasiswa akan terus muncul di Indonesia ketika perilaku otoritarianisme, ketidakadilan, perilaku korup, pelanggaran hak azasi dan sikap sikap anti demokrasi masih terus ditunjukkan oleh elite politik,” kata Ubedillah.
Menurut Ubedillah, ketersambungan karakter gerakan mahasiswa hari ini dengan para pendahulunya dirajut berkat sistem kaderisasi di kampus-kampus. Dari sana nilai-nilai ideal tentang peran mahasiswa di tengah masyarakat, diajarkan secara turun temurun sampai hari ini.
Gerakan Mahasiswa Milenial dan Tudingan Dekadensi
Pun dalam hal bobot pemahaman atas persoalan, gerakan mahasiswa dari generasi milenial hari ini, tak kalah dengan pendahulunya. Mereka, para mahasiswa milenial, tak sekadar bergaya ketika turun ke jalan.
Ubedillah bahkan menyebut mahasiswa di era digital kali ini lebih kritis dibanding gerakan mahasiswa di era-era sebelumnya.
Keunggulan tersebut, menurutnya, karena mahasiswa hari ini memiliki kemewahan akses informasi secara kritis.
Dengan mengakses informasi secara kritis, Ubedillah menyebut apa yang diperjuangkan gerakan mahasiswa hari ini lewat aksi turun ke jalan, dapat mereka pertanggungjawabkan secara akademis.
Pikiran kritis dan kreatif itu bisa tampak jelas dari sejumlah poster yang mereka bawa ketika berdemonstrasi. Meski terkesan nyeleneh, hal itu dianggap sebagai salah satu cara mahasiswa di era saat ini menunjukkan simbolisasi perlawanan.
Namun, Ubedillah kembali menekankan bahwa bahwa gerakan mahasiswa ini tetap memperjuangkan apa yang menjadi substansi dari tuntutan mereka. Hal tersebut, menurutnya, bisa dilihat dari sejumlah pernyataan resmi yang disampaikan oleh ketua ataupun koordinator aliansi gerakan mahasiswa.
“Sementara poster dan narasi-narasi saat demonstrasi adalah hal hal simbolik sebagai simbolisasi perlawanan,” kata dia. (DJP)
Discussion about this post