Daily News|Jakarta – Sejumlah negara-negara di Asia Tenggara dituding telah memanfaatkan pandemi COVID-19 untuk mengekang kebebasan berbicara. Penahanan suami Sok Bolima di Kamboja merupakan contoh terbaru.
Sebelumnya lima wartawan asal Australia diperiksa aparat berwajib di Malaysia saat menjalankan tugasnya membuat liputan dokumenter. Sok Bolima yang memprotes penahanan suaminya mengaku sadar mengapa dia terus diawasi di ibukota Kamboja, Phnom Penh.
Khim Pheana ditahan setelah menunggah informasi di akun facebooknya mengenai COVID-19 di negara itu. Dia dituduh berkhianat terhadap negara dan melakukan penghasutan, yang bisa dikenai hukuman penjara 15 sampai 20 tahun.
“Ada orang yang memata-matai saya. Setiap jam, setiap detik, saya selalu diawasi,” kata Sok Bolima kepada ABC.
“Ketika saya pulang ke rumah mereka tetap mengikuti. Saat keluar rumah, mereka mengawasi. Saya sangat khawatir dengan keselamatan saya, namun saat ini saya tidak mau dibungkam,” ujarnya.
“Saya akan terus melawan bahkan sampai mati di depan pengadilan.”
Sok Bolima berharap akan ada pihak yang membantu suaminya. “Saya mengharapkan kepada kedutaan. Saya tidak percaya lagi dengan pengadilan,” katanya. Ia berencana membawa petisinya ke Kedutaan Australia di Phnom Penh.
“Kalau mereka mau memasukan saya ke penjara, saya rela.”
Sok Bolima biasanya didampingi beberapa perempuan, yang suami mereka juga ditahan selama beberapa bulan terakhir.
“Saya satu dari 15 istri yang melakukan protes di depan gedung pengadilan agar mereka membatalkan tuduhan terhadap suami kami,” katanya.
Semua pria ini ditahan dan dituduh melakukan pengkhianatan terhadap negara dan semuanya merupakan anggota partai oposisi CNRP yang sudah dinyatakan terlarang. (DJP)
Discussion about this post