Daily News Indonesia | Jakarta –Peristiwa masuknya kapal-kapal China dilindungi oleh pasukan Coast Guard telah menimbulkan ketegangan hubungan RI – China. Protes oleh masyarakat Indonesia marak melalui media sosial menyerukan agar pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas terhadap RRT.
Sementara keadaan tegang karena kapal-kapal China menolak untuk meninggalkan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna, TNI menyatakan siaga dan meningkatkan patroli.
“Selanjutnya yang diutamakan adalah peningkatan patroli Indonesia di wilayah tersebut,” ungkap Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah.
Sayangnya, di internal pemerintahan, para pejabat negara tampaknya memiliki pandangan berbeda dalam menanggapi peristiwa tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa hal itu tak perlu dibesar-besarkan. Apalagi, China merupakan salah satu investor besar di Indonesia.
Hal senada diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ia mengatakan bahwa permasalahan tersebut harus disikapi dengan cool dan santai. Prabowo memilih menyelesaikan masalah di Natuna secara damai.
Namun, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi secara tegas tak mengakui klaim China atas wilayah ZEE tersebut. Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari pun berharap pemerintah RI bisa kompak menyikapi persoalan di Natuna. “Saya berharap sikap pemerintah kompak (dalam menyikapi persoalan di Natuna),” ujar Abdul Kharis kepada Kompas.com, Minggu (5/1/2020).
Di sisi lain, nine dash line yang menjadi acuan China dalam mengklaim Natuna dianggap tidak berdasar. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpendapat, Nine-Dash Line tidak diakui oleh dunia internasional.
“Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS (konvensi internasional tentang batas laut), tidak memiliki dasar,” ucap Hikmahanto ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (5/1/2019).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak mengakui nine dash line. Hal itu tertuang dalam putusan Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) yang merupakan kelembagaan hukum di bawah PBB. Gugatan itu diajukan oleh Filipina mengenai sengketa di Laut China Selatan.
Absennya China dalam persidangan, seperti ditegaskan oleh PCA, tidak mengurangi yurisdiksi PCA atas kasus tersebut.
Selain itu, Hikmahanto menuturkan, UNCLOS juga tidak mengenal konsep “traditional fishing rights” seperti yang disebutkan China. Konsep itu juga menjadi poin bagi China untuk mengklaim Natuna. Pejabat baru sedang diuji Menurut Hikmahanto, China sedang menguji pejabat baru di Kabinet Indonesia Maju soal batas wilayah di Natuna.
Ia mengatakan, dalam konsep hukum internasional, penguasaan secara efektif memang harus dilakukan terkait klaim atas suatu wilayah.
Meski tegas, pemerintah Indonesia dinilai tidak perlu khawatir ketegangan tersebut akan mengganggu hubungan maupun investasi dengan China.
“Ketegasan ini tidak harus dikhawatirkan akan merusak hubungan persahabatan Indonesia dan China atau merusak iklim investasi pelaku usaha asal China di Indonesia,” ungkap Hikmahanto.
Ia mengatakan, ada negara yang memiliki sengketa wilayah dengan negara tetapi tidak mengganggu hubungan maupun iklim investasi. Misalnya, Jepang dengan China, Vietnam dengan China, serta Indonesia dengan Malaysia. (HMP)
Discussion about this post