Daily News|Jakarta –Salah satu alasan utama pemerintah menghadirkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja adalah untuk memacu investasi agar tercipta lebih banyak lapangan kerja.
Investasi dalam tulisan ini mengacu pada pembentukan modal tetap bruto yang berwujud (investasi fisik), tidak termasuk investasi finansial seperti saham dan obligasi. Pembentukan modal tetap bruto merupakan salah satu komponen dalam produk domestik bruto (PDB).
Kenapa tergesa-gesa mengubah peraturan yang ada? Kenyataannya investasi di Indonesia terus tumbuh lumayan tinggi, lebih tinggi dari China, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, dan Brazil serta hampir sama dengan India. Hanya Vietnam yang pertumbuhan investasinya lebih tinggi dari Indonesia.
Karena pertumbuhan investasi lumayan tinggi itulah membuat porsi investasi dalam PDB terus meningkat, bahkan lebih tinggi ketimbang rerata negara berpendapatan menengah-bawah maupun kelompok negara berpendapatan menengah-atas.
Di ASEAN, Indonesia juaranya. Tak ada yang lebih tinggi dari Indonesia.
Hanya China yang lebih tinggi dari Indonesia. Namun, China menyadari aras investasi mereka sudah terlalu tinggi. Banyak pabrik kelebihan kapasitas. Akhirnya China banting stir. Mereka menyalurkan investasinya ke luar negeri.
Di dalam negeri, mereka memacu konsumsi masyarakat agar lebih banyak menyerap produksi dalam negeri sehingga ketergantungan pada ekspor bisa dikurangi.
Ironis, ketika Indonesia mengurangi hak-hak perburuhan, Pemerintah China tak mau lagi menekan buruh dengan upah murah.
Buat apa menyenangkan konsumen dunia dengan menawarkan barang-barang murah tetapi menekan peningkatan kesejahteraan rakyatnya sendiri. Porsi investasi dalam PDB di China menunjukkan penurunan cukup signifikan dalam sewindu terakhir.
Porsi investasi dalam PDB mencapai rekor tetinggi justru tercapai pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Mengapa justru Presiden Jokowi menafikan keberhasilannya yang cukup fenomenal itu?
Jadi, nyata sekali Presiden keliru mengatakan investasi terhambat dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan “tidak nendang”.
Alasan keliru inilah yang membuat Presiden mencari jalan pintas atau terobosan dengan mengajukan jurus sapu jagat Omnibus Law Cipta Kerja. Kalau landasannya keliru, maka Omnibus Law tak memiliki pijakan kuat.
Kekeliruan yang terus dibiarkan melahirkaan banyak kekeliruan baru. Yang paling fatal adalah pandangan yang mengatakan bahwa salah satu penghambat investasi adalah keberadaan dan sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Oleh karena itu KPK harus dilemahkan. Maka Undang-undang KPK harus direvisi. Pembisik menang.
Sekarang KPK tak lagi bertaji untuk menjaring korupsi di pusaran kekuasaan, terutama dalam bentuk korupsi kebijakan. Oligarki leluasa semakin mencengkeram dengan menguasai kekayaan sumber daya alam lewat praktik pemburuan rente berskala besar.
Padahal, yang paling membuat pening kepala para investor adalah korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien. Sedangkan urusan ketenagakerjaan berada urutan kesebelas. Alih-alih memperkuat posisi KPK, malahan KPK dilemahkan.
“Survei yang dilakukan majalah terpandang The Economist yang berpusat di London menunjukkan hampir separuh responden berencana meningkatkan investasinya di Indonesia. Indonesia berada di posisi ketiga di Asia setelah China dan India.”
Di mata China, Indonesia kian menarik. Jika pada tahun 2013 dan 2015 Indonesia di urutan ke-44 dalam China Going Global Investment Index, dalam survei terakhir tahun 2017 posisi Indonesia melonjak tajam menjadi ke-26.
Publikasi tahunan UNCTAD terbaru, World Investment Report 2020, kian membuktikan reputasi Indonesia cukup menonjol. Indonesia bertengger di kelompok top-20 di dunia untuk urusan foreign direct investment (FDI). Di ASEAN, hanya Indonesia dan Singapura yang masuk kelompok top-20 dunia.
Padahal, Indonesia bisa dikatakan jual mahal terhadap investor asing. Dan, yang luar biasa, selama ini Indonesia tak pernah sangat bergantung pada investasi asing.
Secara sadar Indonesia memasang kawat berduri tertinggi ketiga di dunia setelah Filipina dan Saudi Arabia.
Kalau Indonesia ingin dibanjiri investor asing, tebas saja pagar tinggi itu dan enyahkan kawat berduri yang menyelimuti pagar. Tak perlu bom atom Omnibus Law, cukup dengan melongggarkan restriksi utamanya, yaitu berupa equity restriction.
Pak Jokowi sebetulnya mengeluhkan pertumbuhan ekonomi yang tak kunjung beringsut dari 5 persen. Target Pak Jokowi 7 persen. Padahal, kurang apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Slogannya saja: kerja, kerja, kerja.
Presiden rajin menjelajah ke seantero negeri. Pembangunan infrastruktur sangat masif. Inflasi terendah sepanjang sejarah. Angka kemiskinan berhasil ditekan sampai hanya satu digit yang tak pernah terjadi sejak merdeka.
Ketimpangan sebagaimana diukur dengan nisbah Gini (Gini ratio) juga turun ke aras di bawah 0,4, yang berarti ketimpangan di Indonesia rendah. Di masa Presiden SBY sempat di atas 0,4 (ketimpangan sedang).
Investasi yang merupakan ujung tombak utama pertumbuhan mencapai aras tertinggi, juga terjadi di era Jokowi.
Mengapa dengan segala keberhasilan yang fenomenal itu pertumbuhan justru melemah dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya?
“Masalah paling mendasar adalah investasi besar tetapi hasilnya kecil. Inilah yang harus dijawab dan dicarikan obat mujarabnya,” kata Faisal.
Ibarat anak di usia pertumbuhan yang dapat asupan bergizi tetapi mengapa berat badannya tidak naik. Boleh jadi banyak cacing di perut anak itu.
Cacing di dalam tubuh perekonomian bisa berupa korupsi yang menyedot darah dan energi perekonomian. Uang hasil korupsi dilarikan ke luar negeri dan atau digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Korupsi merampas hak rakyat sehingga rakyat tetap loyo.
Cacing bisa juga berupa praktik antipersaingan. Proyek-proyek besar diberikan ke BUMN, tak ada tender sehingga tidak terbentuk harga yang kompetitif. Proyek-proyek tanpa dibekali perencanaan yang memadai.
“Cacing yang lebih berbahaya adalah para investor kelas kakap yang dapat fasilitas istimewa dari penguasa. Investasi mereka sangat besar, tetapi hampir segala kebutuhannya diimpor, puluhan ribu tenaga kerja dibawa dari negara asal dan tidak menggunakan visa kerja,” tulis Faisal.
Lalu disediakan bahan baku sangat murah karena diterapkan larangan ekspor sehingga pengusaha dalam negeri yang memasok investor asing itu menderita luar biasa.
“Karena kedekatan dengan penguasa, investor asing memperoleh keistimewaan. Proyek-proyek mereka dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan status itu mereka bisa mengimpor apa saja tanpa bea masuk, tak perlu menggunakan komponen dalam negeri.”
Mereka bebas mengekspor seluruh produksinya tanpa dipungut pajak ekspor. Dan, yang luar biasa menggiurkan adalah bebas pajak keuntungan sampai 25 tahun. Pajak pertambahan nilai (PPN) pun dibebaskan.
Kasus kasat mata adalah puluhan proyek smelter dari China yang telahditulis oleh Faisal Basri dalam blognya.
Praktik-praktik tak terpuji itulah yang bermuara pada ICOR (incremental capital-output ratio) yang sangat tinggi. Di era Jokowi ICOR mencapai 6,5, sedangkan sepanjang kurun waktu Orde Baru sampai era SBY reratanya hanya 4,3.
Artinya, selama pemerintahan Jokowi-JK, untuk menghasilkan tambahan satu unit output, diperlukan tambahan modal 50 persen lebih banyak. Tambahan modal itu tak lain dan tak bukan adalah investasi. Tak hanya lebih parah dari periode-periode sebelumnya, ICOR Indonesia pun tertinggi di ASEAN.
“Jika Pak Jokowi mau mencapai pertumbuhan 7 persen sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja, tak perlu Omnibus Law yang banyak cacatnya itu. Perangi saja terus korupsi, terutama di pusaran kekuasaan, dan segala bentuk pemborosan dengan menurunkan ICOR menjadi 4,7. Maka pertumbuhan 7 persen otomatis akan tercapai, saran Faisal.
Pengamat industri Andi Akmal yang bekerja sebagai konsultan selama puluhan tahun menyatakan bahwa sebenarnya komponen perburuhan dalam kegiatan industri itu tidak lebih dari 15 persen.
“Yang perlu dibenahi justru cost yang muncul di komponen lainnya. Jika porsi perburuhan 15% itu ingin dikurangi seminimal mungkin, maka tak banyak penghematan investasi yang bisa dilakukan. Bahkan counter-productive, jika regulasi baru itu dijawab dengan aksi pemogokan,” jelasnya kepada wartawan DNI di Jakarta. (DJP)
Discussion about this post