Daily News|Jakarta –Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan, DPR harus memberikan kejelasan soal nasib Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Yakni, terkait apakah RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 tersebut akan direvisi atau tidak.
Kejelasan ini penting guna mempersiapkan semua hal untuk pelaksanaan Pemilu 2024.
“Pertanyaan yang paling krusial itu menurut saya 2024 itu kita mau pakai Undang-Undang yang mana,” ujar Aditya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/2).
Saat ini, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih berlaku. Kedua UU ini pada awalnya akan direvisi dalam satu rezim UU Pemilu dengan masuk Prolegnas 2021. Tetapi, kemudian muncul penolakan pembahasan Rancangan UU Pemilu oleh sebagian besar fraksi di DPR.
Aditya menuturkan, meskipun dibatalkan pada 2021, pembahasan revisi UU Pemilu bisa saja muncul di tahun berikutnya. Hal ini tergantung pada keputusan politis anggota fraksi partai politik di DPR.
Namun, UU 7/2017 yang masih berlaku mengatur agar tahapan pemilihan dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 akan dimulai sekitar Agustus 2022.
Maka, kata Aditya, jauh sebelum waktu tersebut, regulasi mulai dari peraturan perundangan-undangan harus sudah pasti. Apakah UU Pemilu baru atau masih UU 7/2016. Sebab, KPU pun membutuhkan kepastian hukumnya untuk mempersiapkan regulasi teknis pelaksanaan Pemilu 2024.
Aditya mengatakan, jika UU Pemilu direvisi, maka UU Pemilu yang baru harus sudah tersedia minimal satu tahun sebelum Agustus 2022. Namun, apabila UU Pemilu tidak direvisi, maka DPR dan pemerintah harus mencari jalan keluar atas catatan kritis penyelenggara pemilu dan publik terhadap pelaksanaan Pemilu 2024.
Misalnya, beban penyelenggara pada Pemilu 2019 yang dikhawatirkan akan kembali terjadi pada 2024 bisa dicegah dengan pengaturan di tingkat perundangan-undangan. Sebab, menurut Aditya, pengaturan di tingkat Peraturan KPU (PKPU) tidak akan cukup mengakomodasi sejumlah permasalahan teknis pelaksanaan pemilu.
“Kalau mau pakai (UU) yang lama terus apa solusi hukumnya, regulasinya, mau pakai Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU)? Berarti kan harus dipersiapkan apa pasal-pasal penting yang harus direvisi,” tegas Aditya.
Sebelumnya, anggota KPU Hasyim Asy’ari menuturkan sejumlah permasalahan ketika pemilu dan pilkada serentak dilaksanakan di tahun yang sama pada 2024. Pada pemilu serentak 2024 maka ada pelaksanaan tujuh pemilihan di tahun yang sama, yakni pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD RI, pemilihan gubernur, serta pemilihan bupati/wali kota.
“Desain tersebut mengundang sejumlah problematika,” ujar Hasyim, Kamis (4/2).
Hasyim mengatakan, beban penyelenggara akan bertambah dalam melaksanakan pemilu nasional dan pilkada serentak nasional 2024. Tahapan pemilu dan pilkada di tahun yang sama akan saling beririsan. “Tersebut beberapa topik yang perlu dibahas dan dicarikan jalan keluar dalam regulasi pemilu dan Pilkada 2024,” tutur Hasyim.
Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai, tudingan Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) bahwa Din Syamsuddin radikal merupakan tuduhan serius. Terlebih, hal itu dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
“Apabila tuduhan itu tidak terbukti, yang tergabung dalam organisasi itu bisa dilaporkan Pak Din dengan dugaan pencemaran nama baik. Tudingan itu jelas mencoreng nama baik Pak Din. Mereka bisa saja dijerat pasal 310 KUHP,” tegas Suparji dalam keterangan pers, Ahad (14/2).
Suparji juga menegaskan, tuduhan GAR ITB harus berdasarkan bukti kuat, apalagi yang dituduh adalah tokoh besar dan selama ini Din Syamsuddin tak ada tindakan yang radikal. Justru, mantan Ketua umum PP Muhammadiyah itu sering menyuarakan perdamaian antarumat beragama. Kemudian tidak pernah ada seruan dari Din untuk menyebarkan radikalisme ke masyarakat.
Selain itu, Suparji juga menekankan, Din memang dikenal sebagai tokoh kritis terhadap pemerintah. Namun, kritik yang disampaikan Din selalu konstruktif dan membangun. Ia menghimbau semua pihak baik hati-hati dalam menggunakan istilah radikalisme.
“Jangan sampai orang yang kritis terhadap pemerintah lalu mudah dicap sebagai radikal. Itu membunuh demokrasi secara perlahan,” tutup Suparji. (DJP)
Discussion about this post