Daily News|Jakarta – Hampir seluruh fraksi sepakat untuk mengesahkan Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) pada rapat kerja Komisi VII DPR RI hari ini, kecuali fraksi Partai Demokrat.
RUU Minerba memang menjadi polemik sejak tahun lalu, dikebut di akhir periode 2019 dan didemo besar-besaran serta dikritik para pakar, toh agenda pengesahan beleid dengan dalil demi kepastian investasi ini tetap dikebut DPR.
Sempat ingin dibahas pada April lalu, namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) minta agar ditunda karena saat itu Indonesia masih di tahap awal terkena pandemi corona.
Ternyata, penundaan hanya berlangsung sebulan. Hari ini DPR menggelar raker untuk pengambilan keputusan RUU Minerba. Dipimpin oleh Ketua Panja RUU Minerba dari Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto.
Dalam sambutan pembukaannya sebelum raker, Bambang bahkan menyebut aspirasi publik yang meminta penundaan itu sebagai teror kepada DPR.
Namun, tidak semua partai sepakat RUU disahkan hari ini. Penolakan hadir dari Fraksi Partai Demokrat yang disuarakan oleh Sartono Hutomo.
Ia memaparkan sektor ini adalah sektor krusial karena menyumbang PNBP cukup besar ke negara. Sementara saat ini negara sedang dalam keadaan genting.
“Rasanya kurang tepat DPR RI bahas hal lain di luar penanganan pandemi covid-19, covid-19 perlu perhatian ekstra dan kegentingan memaksa untuk bantu rakyat,” ujarnya, Senin, 11 Mei 2020.
Dalam kondisi genting ini, semestinya yang dibahas adalah soal keselamatan nyawa penduduk dan fokus pemulihan ekonomi nasional. “Tunda semua agenda tidak terkait dengan pandemi covid-19.”
Untuk itu, kata dia, Demokrat menolak RUU untuk merevisi UU No 4 Tahun 2009 ini diteruskan. “Menunda hingga masa covid-19 selesai. Agar aturan tidak tumpang tindih di satu sisi, karena akan jadi polemik,” jelasnya.
Kritik keras juga disampaikan oleh koalisi masyarakat sipil yang meminta agar RUU ini tidak diteruskan.
“Sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara. Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat,” ujar Aryanto Nugroho dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. (DJP)
Discussion about this post