Daily News|Jakarta – Tampaknya Golkar lebih memilih ‘status quo’ mempertahankan pimpinan Partai Golkar sekarang daripada melanjutkan reformasi untuk kembali berjaya dalam politik Indonesia. Musyawarah Nasional (Munas) X, seakan usai ketika salah satu calon kuat, Bambang Soesatyo mundur dari bursa calon ketua umum, sehingga dipastikan hampir Airlangga Hartarto kembali terpilih jadi pemimpin partai berlambang pohon beringin itu.
Ketua MPR Bamsoet semula merupakan pesaing kuat calon petahana Menteri Airlangga dalam pemilihan Ketua Umum Golkar. Persaingan keduanya sempat membuat Golkar gaduh. Kader partai beringin terbelah menjadi dua kubu, yakni para loyalis Bamsoet dan loyalis Airlangga. Dua kelompok ini saling tuding dan menjegal.
Bamsoet dituding berkhianat karena sudah ada kesepakatan dengan Airlangga soal kursi MPR. Kemudian, kubu Bamsoet menuding ada campur tangan Presiden Joko Widodo dalam kontestasi tersebut.
Jokowi sendiri membantah mencampuri urusan pemilihan ketua umum. Ia juga memastikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno tak ikut cawe-cawe. Jika pun ada, kata Jokowi, mereka adalah menteri-menteri yang berasal dari Golkar.
Namun bantahan Jokowi tak serta merta melunturkan dugaan intervensi Istana dalam pemilihan Ketua Golkar.
Dampak utama dari perkembangan ini adalah bahwa suara-suara dari daerah dan tokoh-tokoh lama yang merindukan Golkar akan berjaya, jika berhasil dalam reformasi partai, kembali sirna.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin merujuk pada tradisi lama bagi yang ingin menjadi Ketua Golkar, pertama uang dan kedua restu dari Istana. Menurutnya, Airlangga maupun Bamsoet memiliki modal yang cukup untuk maju.
“Hanya saja dalam hal restu Istana, Bamsoet kalah dari Airlangga. Nah, restu istana ini bisa sebut intervensi,” ujarnya. Istana, menurutnya cenderung memilih ke Airlangga.
Dukungan tersebut tak lepas dari kerja sama Airlangga dan Jokowi. Airlangga dipercaya Jokowi sebagai Menteri Perindustrian di Kabinet Indonesia Kerja, dan kembali ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Kabinet Indonesia Maju.
Bamsoet menyatakan mundur dari bursa calon ketua Golkar pada Selasa (3/12), usai bertemu politikus Senior Golkar Luhut Binsar Pandjaitan dan Aburizal Bakrie. Ujang menilai keberadaan Luhut di tengah pencalonan ketua umum Golkar tak bisa dilepaskan dari keinginan Jokowi agar Golkar tetap solid.
“Termasuk pada Munas Golkar kali ini. Bukti bahwa BS mundur itu bukti real. Dan bukti Jokowi ingin Golkar tidak pecah adalah bukti lainnya,” kata Ujang.
Pengamat politik Exposit Strategic Arif Susanto tak menampik bahwa Golkar punya independensi relatif dalam pemilihan ketua. DPD I dan II adalah pemegang suara yang bakal menentukan siapa sosok terpilih.
Dalam konteks ini, Arif menyebut Bamsoet sebenarnya punya cengkeraman cukup kuat di daerah. Bamsoet melakukan konsolidasi ke daerah dengan memanfaatkan kesibukan Airlangga sebagai Menteri Perindustrian periode lalu.
“Ada kecenderungan ketum jadi menteri memang lebih sulit untuk koordinasi dengan DPD. Dibandingkan jadi Ketua DPR atau MPR,” katanya.
Akan tetapi, Arif menyebut faktor suara DPD itu masih kalah dari dukungan Istana. Sebagai episentrum politik Istana bisa memberikan dukungan finansial dan pengaruh politik yang sangat kuat.
Menurut Arif keputusan mundur Bamsoet mencerminkan Airlangga bisa memaksimalkan kekuatan Istana. Namun, apa yang didapat Airlangga itu tidaklah gratis.
Dukungan politik dari Istana selalu mensyaratkan sesuatu. Terlebih budaya di Indonesia saat ini masih kental dengan praktik client-patron, yang membentuk relasi kuasa antara patron selaku pihak yang berkuasa penuh, dengan kliennya.
“Dengan memberikan sinyal dukungan ke Airlangga, artinya Jokowi sedang jadi patron dan Airlangga sebagai klien,” kata Arif. Sebagai patron, Istana atau Jokowi bisa meminta apa pun buah dari restu kepada Airlangga.
Istana, misalnya, bisa meminta Airlangga menjadikan Golkar partai yang setia mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatan. Atau, tuntutan-tuntutan lain.
Jokowi sendiri dalam pidato pembukaan Munas Golkar, kemarin malam, terang-terangan meminta agar Golkar mendukung pemerintah dalam membuat Omnibus Law.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Wasisto Raharjo Jati lebih menyoroti mundurnya Bamsoet dari sisi internal partai. Dia menilai keputusan Bamsoet mundur tak lepas dari komitmen yang sudah dibuat bersama Airlangga sebelum ini soal penempatannya di kursi ketua MPR. Selain itu, ada juga peran dari para tokoh senior Golkar.
“Karena konsesi politik yang menjadikan Bamsoet mundur. Hanya saja mundurnya Bamsoet juga dipengaruhi faktor senioritas juga,” ujarnya.
Ia berpendapat dengan hanya menyisakan Airlangga sebagai kandidat terkuat, Golkar akan lebih stabil dalam mendukung pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan maupun menghadapi Pemilu 2024. Namun, situasi ini tidak favorable jika Golkar ingin kembali berjaya, menjadi pemenang pada Pemilu selanjutnya itu.
Pengamat lainnya berpendapat selama kepemimpinan Airlangga tidak ada kemajuan berarti bagi Golkar dan keadaan status quo ini akhirnya tidak terhindarkan. (DJP)
Discussion about this post