Daily News|Jakarta – Tidak memiliki paspor dalam perjalanan di luar negeri karena kehilangan atau musnah tidak bearti WNI itu kehilangan kewarganegaraannya. Paspor adalah identitas seseorang yang berfungsi sebagai ‘travel document’ yang diakui hukum internasional, menurut seorang ahli hukum internasional.
“Berbeda halnya jika paspor tidak dimiliki karena dengan sengaja membakarnya di depan publik yang bisa ditafsirkan melakukan penghinaan terhadap dokumen negara dan pelecehan terhadap NKRI yang bisa dituntut ke pengadilan,” katanya.
Ketika seseorang di luar negeri kehilangan paspornya, dengan mudah dia bisa melaporkan diri ke Perwakilan RI terdekat dan meminta Surat Pengganti Laksana Paspor (SPLP), untuk memudahkannya kembali ke tanah air. Tentu saja, SPLP tidak secara otomatis menjadi pengganti paspor jika yang bersangkutan bermaksud melakukan perjalanannya ke beberapa negara. SPLP hanya ‘travel document’ untuk bisa kembali satu kali jalan ke tanah air.
Bagaimana dengan kasus WNI membakar paspornya karena bergabung dengan organisasi yang ditetapkan oleh Pemerintah R.I. sebagai organisasi terlarang, seperti misalnya ISIS, yang menjadi tisu pembahasan di berbagai pihak?
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berpandangan, bekas pengikut organisasi Islamic State Irak dan Suriah (ISIS) yang berasal dari Indonesia sejak 2015, tidak serta merta hilang statusnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) sekalipun mereka sudah membakar paspor Republik Indonesia.
Menurut Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, dalam Undang-Undang (UU) tidak dinyatakan bahwa pembakaran paspor menggugurkan status WNI, termasuk dalam UU Terorisme.
“Bakar paspor saja enggak ada. Kaidah hukum itu harus jelas, sehingga ketika Presiden buat keputusan enggak ada masalah,” kata Damanik dalam sebuah diskusi di Jakarta, Ahad, 9 Februari 2020.
Damanik mengakui, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memang mengatur bahwa status WNI bisa hilang bila mana mereka sumpah setia dengan negara lain. Namun, untuk ISIS dia mengatakan bukanlah negara melainkan organisasi internasional belaka.
“Pertanyaan, ISIS negara bukan? UN (United Nations) mengatakan kok, ini hanya organisasi internasional teroris. Ini tidak bisa serta merta dipakai,” tegas dia.
Damanik juga berpendapat, dengan tidak melapornya mereka selama lima tahun berturut-turut ke kedutaan baik untuk memperpanjang visa maupun menyatakan kewarganegaraannya sebagai WNI, juga tidak serta merta hilang, karena adanya dua catatan kritis.
Pertama, kata dia, Indonesia harus menanggung beban kecaman internasional karena membiarkan adanya status tak bernegara (stateless) warganya. Hal itu ditegaskannya, dilarang oleh kesepakatan dan aturan internasional karena tidak bolehnya satu orang pun tidak memiliki status kewarganegaraan.
“Dikecam internasional melahirkan stateless, Komnas HAM saja punya MoU (Memorandum of Understanding) ratusan ribu tentang stateless ini. Kedua, (soal lamanya) lima tahun apakah 660 (WNI eks ISIS) itu lima tahun semua, kan enggak. Jadi dia enggak bisa kena pasal itu,” tuturnya.
Damanik menegaskan, dalam menyikapi persoalan pemulangan WNI tersebut, pemerintah harus mematangkan landasan hukum, baik ketika menolak maupun menerima para mantan kombatan ISIS tersebut. (HMP)
Discussion about this post