Daily News|Jakarta – Dunia jurnaistik di Tanah Air berduka. Salah satu wartawan senior Aristides Katoppo (81) meninggal dunia pada Minggu (29/9/2019) di RS Abdi Waluyo, Jakarta, pukul 12.05 WIB. Jurnalis kelahiran 14 Maret 1938 tersebut dirawat di rumah sakit sejak Minggu dini hari, dan langsung masuk ruang perawatan intensif (ICU).
Jenazah selanjutnya diseayamkan di rumah duka RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Menurut rencana jenazah Tides, demikian sapaan akrab almarhum, akan dikremasi pada Selasa (1/10/2019).
Sebelum wafat, Tides sempat pergi ke Semeru bersama koleganya sesama pencinta lingkungan, Don Hasman dan Herman Lantang.
Almarhum menjalani karier jurnalistik sejak era demokrasi terpimpin di masa Presiden Soekarno, awal Orde Baru, hingga era Reformasi. Karier almarhum banyak dihabiskan di koran Sinar Harapan (SH) yang selanjutnya berganti nama menjadi Suara Pembaruan. Tides salah satu wartawan yang aktif sejak SH berdiri pada 1961.
Dinamika politik yang menyertai perjalanan SH turut dirasakan Tides kala itu. Beberapa kali SH dilarang terbit oleh pemerintah, di antaranya pada 1965, 1974, dan 1978. Selama itu pula, pemerintah kembali memberi kesempatan kepada SH untuk kembali terbit menyapa pembaca setianya.
Pada Oktober 1986, koran SH kembali diberedel pemerintah. Pemberedelan kali ini ternyata permanen. Hingga pada 4 Februari 1987, terbit Suara Pembaruan (SP), sebagai penerus SH setelah 35 tahun terbit.
Sebagai jurnalis senior, Tides selalu dilibatkan dalam menyiapkan jurnalis-jurnalis yunior di SP. Hampir setiap perekrutan wartawan baru, Tides dillibatkan untuk memberi pembekalan bersama sejumlah jurnalis senior lainnya.
Salah satu ilmu yang ditanamkan Tides kepada penulis saat menjalani pelatihan jurnalistik di Harian SP pada pertengahan 1990-an, antara lain prinsip cover all sides (meliput dari banyak sisi) yang harus dipegang jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Hal ini cukup menarik di tengah teori yang masih banyak dianut saat itu yang masih memegang prinsip cover both sides (meliput dari dua sisi).
Sebagai jurnalis, sepak terjang Tides tidak hanya dikenali di dalam negeri. Jurnalis-jurnalis luar negeri saat melakukan tugas jurnalistik ke Indonesia kerap mewawancarai almarhum. Salah satu yang diingat penulis adalah kedatangan tim wartawan dari salah satu stasiun televisi Australia ke ruang redaksi SP saat masih berkantor di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta, tak lama setelah tumbangnya rezim Soeharto di penghujung 1990-an. Kedatangan jurnalis asing tersebut tak lain untuk mewawancarai Tides.