Daily News|Jakarta – Di media muncul kiriman foto unik sebuah mobil putih bagus dengan pintu terbuka dipenuhi oleh monyet-monyet. Di dalam maupun di luar, depan belakang, juga di atas atap mobil tersebut. Tulisan yang menyertainya adalah sebagaimana judul tulisan ini “Menguasai tapi tidak Bisa Menjalankan”.
Ini mungkin menggambarkan situasi politik kita di tanah air. Orang beramai-ramai mencalonkan diri untuk jabatan publik, hanya sekadar mewujudkan ambisi atau dorongan kelompoknya. Istilah Medan disebut ‘ditokohkan’. Tidak berhenti sekadar ditokohkan, tetapi kemudian tokoh yang berhasil menipu konstituennya dengan janji-janji atau ‘PHP’.
Istilah Medan: ‘menokohi’atau mengapusi orang-orang terdekat yang membantunya mewujudkan ambisi kekuasan lalu meninggalkan mereka.
Kenapa itu terjadi dan berulang-ulang? Masalah pokoknya adalah ‘ambisi’ tidak didukung dengan kepemimpinan mumpuni, kompetensi, apalagi pengalaman. Tanpa ketiga unsur ini tiba-tiba muncul nama-nama yang baru disebut dan tidak memiliki track record untuk mengukur ketiga unsur itu. Dan dia menang. Dan konstituen tertipu lagi.
Ini yang menjadi sorotan artikel yang viral kemarin, ditulis oleh pengamat politik M. Rizal Fadillah dan viral di media sosial.
“Serombongan monyet bergembira bermain mengobrak-abrik mobil. Rasanya untuk mengusirnya tak akan mampu karena “solid”nya gerombolan monyet tersebut. Hanya karena mereka memang hewan maka mobil tersebut tak bisa dikendarai untuk bergerak. Monyet tak bisa menjalankan mobil. Diam dan hanya jadi bahan mainan,” tulisnya di awal.
“Negara yang dikuasai oleh pejabat yang tidak kompeten seperti mobil yang dikuasai monyet. Yang penting adalah kebahagiaan sendiri dan senantiasa memperbesar kekuasaan dan kepentingannya sendiri (self aggrandizing). Tujuan pengelolaan negara pendek saja yaitu keamanan, ketenteraman dan ketertiban. Harta dan rakyat adalah bagian dari kekuasaan.”
Jika berprinsip seperti itu yang dijalankan maka tidak berbeda dengan “Il Principe”nya Machiavelli yang menurutnya penguasa itu harus berorientasi pada kekuasaan dan hanya mematuhi aturan yang akan membawa kesuksesan bagi politiknya. Kepentingan negara adalah kekuasaan tertinggi bagi pelaksanaan pemerintahan. “Raja harus bisa licik seperti kancil dan menakut-nakuti seperti singa”.
“Berbeda dengan pandangan filosof kenegaraan “bermoral” seperti Socrates yang menyatakan tujuan bernegara adalah keadilan. Atau Plato yang menegaskan tujuan bernegara adalah menegakkan kesusilaan, baik individu maupun sosial.”
“Aristoteles mengharapkan kesuksesan politik pada kebahagiaan warga negara yang sebesar besarnya. Menurutnya bentuk kekuasaan yang ideal adalah “politea” dimana rakyat berdaulat dan hukum menjadi dasarnya,” katanya mengutip filosof terkenal dunia itu.
Menarik ucapan Aristoteles “karena dalam demokrasi yang berdasarkan hukum, warga negara mendapat tempat istimewa dan di sana tidak ada demagog. Tetapi di mana hukum tidak berkuasa maka di sana demagog muncul”.
Demagog adalah pemimpin penghasut massa yang dalam kondisi tak menentu massa atau rakyat diarahkan berpihak kepadanya. Demagog memanfaatkan ketidaktahuan rakyat, tutup Rizal. (DJP)
Discussion about this post