Daily News|Jakarta –Kritik terhadap pelaksanaan program Kartu Prakerja terus bermunculan, datang dari banyak kalangan. Tidak terkecuali dilontarkan Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon.
Melalui program Kartu Prakerja, Pemerintah dinilainya hanya sedang mempertebal kantong sejumlah perusahaan aplikasi digital.
Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp 5,6 triliun, atau hanya terpaut sedikit di bawah nilai skandal Bank Century.
“Bahkan ada yang mengatakan bahwa program ini bukan ‘pelatihan digital’, tapi ‘perampokan digital’,” ungkap Fadli Zon dalam siaran tertulis pada Senin (4/5/2020).
“Intinya, pelaksanaan program ini “cacat” dan meleset dari tujuan,” tegasnya.
Apabila dirumuskan, Fadli Zon mencatat setidaknya ada empat alasan kenapa program ini harus dianggap bermasalah.
Keadaan Normal
Pertama, program Kartu Prakerja dinilai tidak relevan mengatasi dampak wabah virus corona atau covid-19.
Program Kartu Prakerja pun dinilainya tidak menjawab krisis yang tengah dihadapi.
“Target peserta program ini, misalnya korban pemutusan hubungan kerja (PHK), jelas lebih membutuhkan bantuan berupa ‘cash transfer’ atau bantuan langsung tunai (BLT) daripada pelatihan online,”ungkap Fadli Zon.
“Lagi pula, mau usaha apa, atau kerja di mana, wong hampir semua perusahaan, termasuk sektor informal, saat ini semuanya tutup? BLT lebih dibutuhkan untuk menyambung hidup di tengah covid-19,” tegasnya.
Program Kartu Prakerja tersebut diakui Fadli Zon memang berangkat dari janji kampanye Presiden Joko Widodo atau Jokowi ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu.
Hanya saja menurutnya, realisasi janji tersebut tidak tepat apabila dilaksanakan pada masa pandemi.
“Jadi, konteks gagasannya adalah program dalam kondisi normal,” ungkap Fadli Zon.
“Sehingga, memaksakan program tersebut di tengah situasi krisis, jelas bermasalah. Konsepnya jadi tidak relevan,” tambahnya.
Tidak Masuk Akal
Alasan kedua diungkapkan Fadli Zon karena program Kartu Prakerja tidak masuk akal.
Sesudah terjadi pandemi Covid-19, Pemerintah telah mengubah tujuan program Kartu Prakerja ini menjadi membantu masyarakat yang terdampak wabah.
“Ini adalah skema bermasalah,” imbuhnya.
Seperti poin pertama, Fadli Zon mengingatkan pemerintah untuk menyalurkan BLT apabila ingin membantu masyarakat terdampak. Sehingga ditegaskannya pemerintah tidak perlu menggelar pelatihan.
Tujuannya agar anggaran Kartu Prakerja bisa utuh seratus persen sampai ke masyarakat, tidak terpotong oleh mitra penyedia jasa pelatihan.
“Jangan lupa, anggaran Rp 5,6 triliun yang masuk ke kantong platform digital itu mencapai 28 persen keseluruhan anggaran Kartu Prakerja,” jelas Fadli Zon.
“Sekarang bayangkan, kalau hampir 30 persen anggaran bantuan bagi korban PHK, atau mereka yang kehilangan penghasilan, ternyata habis untuk hal-hal lain, dari sisi penganggaran ini jelas inefisiensi. Dari sisi administrasi, ini jelas maladministrasi,” tegasnya.
Fadli Zon melanjutkan, apabila pemerintah tetap ngotot menggelar Kartu Prakerja dengan alasan materi pelatihan dianggap penting, dirinya mengingatkan anggaran tersebut tidak masuk akal.
Sebab, anggaran Program Kartu Prakerja yang mencapai sebesar Rp 5,6 triliun hanya untuk membeli video tutorial.
“Apa masuk akal biaya pelatihan online menyedot anggaran hingga Rp 5,6 triliun? Jangan lupa, duit sebesar itu habis hanya untuk membeli video tutorial. Ini kan tak masuk akal,” jelasnya.
Sebagai pembanding, dirinya memaparkan anggaran TVRI dan RRI dalam APBN 2020 yang masing-masing sebesar Rp 1,2 triliun dan Rp 1,3 triliun.
Untuk membeli video, jumlahnya diperkirakannya hanya sekira Rp 500 miliar.
Merujuk hal tersebut, dirinya menyarankan agar produksi video Kartu Prakerja untuk diserahkan ke TVRI atau RRI.
Sehingga bukan hanya dapat menekan anggaran, video pelatihan tidak hanya dapat disaksikan peserta Kartu Prakerja, tetapi juga disaksikan seluruh masyarakat Indonesia.
“Bahkan, mereka tak perlu beli pulsa, kuota, atau memiliki ponsel Android untuk bisa mengakses,” ungkap Fadli Zon.
“Jadi, menurut saya, skema program ini memang bermasalah,” tambahnya.
Validasi Data Lemah
Menurut Fadli Zon, kriteria dan parameter penerima bantuan Kartu Prakerja tidak jelas. Semua orang bisa mendaftar dan semuanya bisa mengaku berhak menerima bantuan.
Seleksi pun diungkapkannya hanya bersifat random yang tidak melibatkan verifikasi data atau sejenisnya.
“Menurut saya, penggunaan anggaran negara seharusnya tidak boleh gegabah seperti itu. Potensi penyelewengan jadi besar sekali,” imbuh Fadli Zon.
Mitra Kartu Prakerja Tidak Kompeten
Hal terakhir, dirinya menilai mitra Kartu Prakerja tidak kompeten, walaupun diketahui mereka sukses sebagai marketplace.
“Misalnya, apa kompetensi Ruang Guru sehingga bisa memberi pelatihan serta sertifikasi keahlian jurnalistik pada orang lain?,” tanya Fadli Zon.
“Bagaimana bisa peserta ditawari pelatihan mancing oleh perusahaan mitra? Apalagi, semua materi yang ditawarkan hanyalah tutorial dasar, yang bisa dicari gratis di internet atau ditonton di Youtube,” tambahnya.
Hal tersebut diungkapkan Fadli Zon menjadi bukti tidak kompetennya delapan perusahaan yang ditunjuk sebagai mitra Kartu Prakerja.
Lagi pula, sebagai program pemerintah yang terkait dengan dunia usaha, program Kartu Prakerja menurutnya sama sekali tak melibatkan asosiasi dunia usaha, seperti Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), asosiasi UMKM ataupun Koperasi. “Padahal, mereka adalah ‘user’ dari peserta program Kartu Prakerja,” jelas Fadli Zon.
Dengan empat catatan itu, saya kira program Kartu Prakerja ini sebaiknya dihentikan. Sesudah gelombang keempat, seharusnya Pemerintah mengevaluasi besar-besaran program ini dan mengalihkannya jadi sepenuhnya program BLT,” tutupnya. (DJP)
Discussion about this post