Daily News|Jakarta –Ribuan anak-anak etnis minoritas Uighur di provinsi Xinjiang, China, dilaporkan terpaksa hidup di panti asuhan akibat orang tua mereka dipaksa masuk ke sejumlah kamp tahanan yang dibangun pemerintah.
Seperti dilansir The Guardian, Sabtu (17/10), kesimpulan itu dipaparkan dari hasil analisis data yang dikumpulkan peneliti Adrian Zenz.
Dia mengatakan dari telaah dokumen pada 2018, ada sebanyak 9.500 anak-anak yang sebagian besar berasal dari etnis Uighur, yang bermukim di kawasan Yarkand menjadi “yatim” sementara saat orang tua mereka ditahan di kamp yang dibangun pemerintah China.
Dari data yang diunduh di Internet pada 2019 itu memperlihatkan paling tidak ada satu dari orang tua setiap anak-anak Uighur itu yang ditahan di kamp.
Sedangkan bagi orang tua anak-anak etnis Han tidak ada yang tercatat.
“Taktik Beijing adalah untuk mengendalikan kelompok minoritas di daerah yang bergejolak di Xinjiang dengan menggunakan cara pengendalian sosial jangka panjang melalui metode pelatihan di kamp-kamp tersebut. Di sisi lain, mereka juga berusaha meraih simpati dari generasi mendatang,” kata Zenz.
Anak-anak etnis minoritas di Xinjiang yang orang tuanya ditahan biasanya dititipkan di panti asuhan atau sekolah asrama dengan tingkat pengamanan tinggi. Mereka yang tinggal di asrama akan diawasi ketat, dan dipaksa untuk menggunakan bahasa Mandarin setiap waktu ketimbang bahasa ibu mereka.
Secara keseluruhan, kata Zenz, ada sekitar 880.500 anak-anak etnis minoritas di Xinjiang yang harus tinggal di asrama sepanjang 2019. Jumlah itu meningkat 76 persen dari dua tahun sebelumnya setelah pemerintah China memutuskan memperluas kamp-kamp tersebut.
Sampai saat ini pemerintah China dinilai tidak terlampau peduli dengan dampak dari pemisahan anak-anak etnis minoritas di Xinjiang dengan orang tua mereka yang ditahan di kamp, meski kebijakan itu terus menuai kritik.
Dari penuturan sejumlah saksi bisa disimpulkan bahwa kebijakan China adalah bentuk pemisahan anggota keluarga yang terstruktur.
Dari hasil studi itu Zenz menemukan anak-anak etnis minoritas yang sementara menjadi yatim dan harus tinggal di panti asuhan mulai dari umur satu tahun. Sebab, salah satu atau kedua orang tua mereka dipaksa masuk ke kamp tersebut.
Di sisi lain, sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah China untuk anak-anak etnis minoritas dimodifikasi dengan penambahan sejumlah perangkat. Yakni sistem pengamanan berlapis yang tidak mudah ditembus, pagar sekolah yang dialiri listrik, serta sistem pengawasan dan patroli menyeluruh yang terkomputerisasi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menanggapi hasil penelitian Zenz. Dia menjuluki Zenz seolah mirip dengan ‘tentara bayaran’ yang disewa pemerintah Amerika Serikat untuk memojokkan mereka.
“Kami telah berulang kali menyampaikan bahwa masalah Xinjiang bukan soal hak asasi, diskriminasi etnis atau agama, tetapi soal pemberantasan kekerasan, terorisme dan separatisme,” kata Zhao dalam jumpa pers di Beijing pada Jumat kemarin.
“Tuduhan penindasan terhadap umat Muslim dan kejahatan terhadap kemanusiaan hanya dibuat-buat oleh kelompok yang tidak menyukai untuk memojokkan kami,” ujar Zhao.
Pada September lalu, Presiden China, Xi Jinping, menyatakan taktik yang dilakukan pemerintahannya di Xinjiang sudah tepat.
“Rasa kepemilikan, kebahagiaan dan keamanan di antara seluruh kelompok etnis di sana meningkat,” kata Xi.
Sejumlah pihak menuduh China menahan lebih dari satu juta etnis minoritas di Xinjiang dengan alasan pelatihan. Para peneliti menyebut cara itu adalah upaya China untuk menghapus peradaban etnis Uighur dan menekan populasi.
Akan tetapi, pemerintah China menyatakan upaya itu dilakukan untuk memerangi radikalisme, terorisme dan separatisme. (HMP)
Discussion about this post