Daily News|Jakarta – Ratusan mahasiswa Indonesia di Mesir mengeluhkan kekurangan bekal saat negara itu melakukan karantina wilayah akibat pandemi virus corona, seperti disiarkan oleh beberapa media internasional.
Mesir memberlakukan karantina wilayah secara parsial atau partial lockdown sejak 15 Maret.
Pemerintah melarang orang keluar rumah dari pukul 8.00 sampai 20.00 waktu setempat. Akibatnya, mahasiswa yang bekerja sambil kuliah tak bisa bekerja sehingga kekurangan bekal.
Ketua Kesepakatan Mahasiswa Minangkabau (KKM) Mesir, Abdan Syukri (24), mengatakan bahwa terdapat 320 anggota KKM Mesir.
Sebanyak 75 orang di antaranya kuliah sambil bekerja dan tak mendapatkan kiriman dari orang tua. Ada juga di antara mereka yang mendapatkan kiriman, tetapi tak cukup sehingga harus bekerja. Karena itu, karantina wilayah memberatkan mereka.
“Sejak lockdown diberlakukan, tempat umum ditutup. Orang yang melanggar jam keluar rumah didenda Rp4 juta. Mahasiswa tak bisa bekerja,” ujarnya.
Selain 75 orang itu, kata Syukri, ada mahasiswa yang mendapatkan beasiswa sehingga berkemungkinan bekalnya cukup hingga akhir semester.
Ada juga yang mendapatkan kiriman dari orang tua, yang jumlahnya cukup. Namun, ada pula yang mendapatkan kiriman, tetapi kirimannya berkurang karena di Indonesia keadaan keluarga kurang baik sehingga berdampak pada kiriman.
“Mereka yang kekurangan bekal dan kiriman itu mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah ataupun lembaga di Indonesia selama masa pandemi Covid-19. Seandainya lockdown terus berlanjut, harga bahan pokok akan naik. Kini harga bahan pokok belum naik signifikan,” tutur mahasiswa asal Alahan Panjang, Kabupaten Solok itu.
KBRI di Kairo dan Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir, kata Syukri, sudah mendata mahasiswa yang membutuhkan bantuan. KBRI memberikan bantuan bahan pokok kepada mahasiswa, tetapi kuota penerimanya terbatas.
Syukri menginformasikan bahwa mahasiswa Minang di Mesir harus bertahan tak pulang karena beberapa alasan. Pertama, mereka masih kuliah (daring/online) dan akan ujian akhir semester (daring) pada 31 Mei.
Kedua, tak pulang karena trafik peningkatan kasus di Indonesia jauh lebih tinggi daripada Mesir. Dalam perjalanan pulang pun akan terjadi banyak kontak fisik dengan orang lain yang bisa menyebabkan tertular Covid-19.
Ketiga, bandara ditutup sejak 15 Maret. Kalaupun bisa pulang, ongkos Mesir-Indonesia mahal (Rp8 juta pergi dan pulang).
“Biasanya jadwal pulang mahasiswa Indonesia setelah ujian akhir semester, sekitar pertengahan Juni. Kembali ke Mesir sekitar pertengahan September karena kuliah dimulai awal Oktober. Rata-rata mahasiswa Indonesia pulang sekali dua tahun. Ada yang pulang tiap tahun.
Ada yang tak pernah pulang hingga tamat lima tahun,” ucap mahasiswa S-2 Jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar itu.
Ia menambahkan bahwa dari 320 anggota KMM Mesir itu 90 persen di antaranya mahasiswa S-1, 7 persen mahasiswa S-2, dan 3 persen mahasiswa S-3. Hampir semuanya kuliah di Universitas Al-Azhar, dan ada sepuluh orang di Universitas Zamalik. (HMP)
Discussion about this post