Daily News|Jakarta – Merujuk prosedur pelarungan jenazah yang dikeluarkan organisasi buruh internasional (ILO), kapten kapal dapat memutuskan melarung jenazah dalam kondisi antara lain jenazah meninggal karena penyakit menular atau kapal tidak memiliki fasilitas menyimpan jenazah, sehingga dapat berdampak pada kesehatan di atas kapal.
Kapten kapal menjelaskan bahwa keputusan melarung jenazah, karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya,” kata Judha.
Dia menambahkan, KBRI Beijing telah menyampaikan nota diplomatik untuk meminta klarifikasi mengenai kasus ini.
Dalam penjelasannya, Kementerian Luar Negeri China menerangkan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktek kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapal lainnya.
“Dalam penjelasannya, Kemlu China menerangkan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktek kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapal lainnya,” ujar Judha dalam keterangan tertulis.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia dan kementerian/Lembaga terkait juga telah memanggil manning agency untuk memastikan pemenuhan hak-hak awak kapal WNI.
Kementerian Luar Negeri Indonesia juga telah menginformasikan perkembangan kasus dengan pihak keluarga.
Salah seorang anak buah kapal (ABK) WNI dilaporkan meninggal saat bekerja di kapal ikan China dan jenazahnya kemudian dilarung (dibuang) ke laut. Ia diduga mengalami praktek eksploitasi bekerja hingga 18-20 jam sehari dengan kondisi minim istirahat.
Kabar dugaan eksploitasi ini dilaporkan oleh media Korea Selatan, MBC, pertama kali dan kemudian direspons oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu, Judha Nugraha, mengatakan bahwa Pemerintah China mengklaim kapal ikan China telah mematuhi praktik kelautan internasional dalam melarung jenazah awak kapalnya ke laut. Pelarungan, menurut Yudha, dilakukan untuk menjaga kesehatan awak kapal lainnya.
Pelarungan jenazah (burial at sea) sendiri tercantum dalam aturan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tepatnya dalam aturan bertajuk ‘Seafarer’s Service Regulations’ Pasal 30.
Namun tak semua awak yang meninggal di atas kapal bisa dibuang ke laut. ILO memberikan sejumlah syarat bagi pemilik kapal, yaitu:
1. Kapal berlayar di perairan internasional.
2. ABK meninggal lebih dari 24 jam atau kematian akibat infeksi.
3. Kapal tidak bisa menyimpan jenazah karena alasan kebersihan atau pelabuhan entri melarang kapal untuk menyimpan jenazah atau alasan sah lainnya.
4. Surat keterangan kematian akan dikeluarkan oleh dokter kapal (jika ada).
Saat pelarungan, pemilik kapal seharusnya melaksanakan upacara kematian secara layak dan memastikan jenazah tidak terapung. Upacara kematian direkam atau difoto sedetail mungkin.
Peninggalan mendiang seperti rambut sisa dan barang-barang pribadi akan dipercayakan pada personel untuk kemudian diteruskan pada pasangan atau keluarga dekat.
Pemilik kapal juga harus segera melapor pada pegawai untuk menyampaikan kabar duka pada keluarga ABK.
Menindaklanjuti isu pelarungan ABK WNI, Judha menyampaikan Kemlu akan memanggil Duta Besar RRT untuk meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pelarungan jenazah apakah sudah sesuai aturan atau belum. Kemudian dari KBRI di Beijing, China juga telah mengambil sikap.
“KBRI Beijing telah menyampaikan nota diplomatik untuk meminta klarifikasi mengenai kasus ini,” katanya.Sebelumnya, BBC Korea Selatan melaporkan para ABK asal Indonesia ini menjalani karantina di Busan sejak 14 April silam. Mereka telah menjalani tes virus corona dan dinyatakan negatif.
Pengacara berbicara dengan tiga ABK melalui telepon dan mereka menuturkan kondisi kerja yang keras di kapal-kapal China yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Samoa.
Mereka mengaku harus bekerja selama 18 jam per hari, beberapa di antaranya harus bekerja selama dua hari berturut-turut.
Mereka pun berada di laut dalam jangka waktu lama, 13 bulan, tanpa sempat berlabuh selama menjalani pekerjaannya.
Mereka juga mengaku tidak diberi air tawar untuk minum dan harus meminum air laut.
Di antara mereka juga mengaku mendapat kekerasan fisik dari kru kapal senior dan wakil kapten kapal.
Paspor mereka diambil oleh kapten kapal dan upah tiga bulan pertama mereka bekerja tidak diberikan dengan alasan untuk mengganti biaya perekrutan.
Imbas dari kondisi kerja yang buruk ini, mereka mengatakan tiga dari ABK meninggal karena penyakit yang menunjukkan gejala serupa seperti tubuh yang kembung dan sesak napas.
Setelah meninggal, biasanya, jenazah akan disimpan di lemari es dan dibawa kembali, namun jenazah ketiga ABK itu justru dibuang ke laut, ungkap mereka.
Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri mengkonfirmasi kematian tiga ABK Indonesia saat kapal sedang berlayar di Samudera Pasifik. (HMP)
Discussion about this post