Daily News|Jakarta –Australia berulang kali melayangkan kritik keras terhadap pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi virus corona. Kritikan tak hanya dilontarkan pejabat negara, tetapi juga oleh media lokal di Australia juga kerap memberitakan kritik penanganan Covid-19 di Indonesia.
Kritisnya pemerintah dan media Australia turut diamini oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah. Dia mengaku cukup kaget.
Teuku mengatakan wajar jika pemerintah dan media Australia kerap membahas Indonesia karena secara geografis, wilayah kedua negara ini saling berdekatan.
Teuku menyebut Indonesia dan Australia berbatasan wilayah laut namun keduanya memiliki sistem politik, sejarah, orientasi politik luar negeri, dan komposisi penduduk berbeda. Ia menilai, penduduk Indonesia lebih beragam daripada Australia.
“Yang namanya tetangga itu kan abadi, jadi dalam kondisi ini mau tidak mau kita harus saling menghargai. Untuk itu kita sudah punya The Lombok Treaty, dibuat tahun 2006 lalu,” ujar Teuku.
The Lombok Treaty adalah perjanjian resmi yang ditandatangani oleh pemerintah Australia dan Indonesia menyangkut kerja sama keamanan, pertahanan, dan militer.
Menurut Teuku, hubungan bilateral kedua negara sudah semakin baik kecuali ketika pandemi Covid-19 melanda. Namun terlepas dari wabah ini, baik pemerintah Indonesia maupun Australia sadar hubungan ke depan harus tetap berjalan mulus.
“Tapi memang risiko dari hubungan bertetangga yang strukturnya sangat berbeda adalah turun-naik. Jadi saya harus akui itu ibaratnya (seperti) roller coaster. Di satu sisi, saya harus akui Australia punya sistem kebebasan pers yang sama seperti Indonesia,” kata Teuku.
Sejak Australia mengumumkan kasus Covid-19 pertama pada 25 Januari, Indonesia bersikeras tidak ada kasus positif, setidaknya sepanjang Januari hingga Februari.
Pertengahan Februari lalu, Chief Medical Officer Australia Brendan Murphy menuturkan pihaknya sangat terkejut karena tidak ada kasus virus corona yang dilaporkan di Indonesia.
“Seharusnya ada alasan untuk khawatir, mungkin ada kasus yang tak terdeteksi,” katanya.
Hingga akhir Februari, Indonesia tak juga menyatakan ada virus corona. Perdana Menteri Australia Scott Morrison pun ikut bersuara.
“Saya tidak bermaksud (tidak sopan). Indonesia memiliki sistem kesehatan yang berbeda dengan Australia. Dan kami memiliki kapasitas yang berbeda untuk memberikan jaminan tersebut,” ujar Morrison dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Australia, 3AW.
Lebih lanjut, Teuku mengatakan memang agak mengagetkan ketika pemerintah Indonesia sangat memerlukan dukungan dunia untuk mengatasi wabah, Australia justru melayangkan kritik menohok.
Teuku paham kritik adalah risiko yang harus diterima pemerintah Indonesia jika tidak optimal dalam menangani wabah. Tapi idealnya, Australia tak hanya bisa mengkritik, namun juga berkontribusi untuk memberikan jalan keluar.
“Misalnya, kenapa (Australia) tidak melakukan pendekatan yang sama seperti yang dilakukan dengan Amerika Serikat lewat telepon langsung antara pemerintah, antar kepala negara. Kemudian kenapa tidak seperti China yang juga melakukan hubungan (lewat) telepon,” ujarnya.
Teuku menyebut Australia lupa jika dalam menangani hal-hal kritis semacam ini, mereka bisa langsung berhubungan dengan pemimpin negara untuk kemudian berbicara dari hati ke hati tanpa perlu membagikan informasi sensitif kepada media di negaranya.
“Terus terang, mengelola 260 juta penduduk ini kan luar biasa. Untung pejabat Indonesia tidak terpancing dengan kritik Australia tersebut karena bagaimanapun mereka berpikir ini kritik yang membangun. Tapi tolong jangan terus-terusan. Karena kalau terus-terusan, (saya) khawatir pejabat negaranya tidak sesabar presidennya,” kata Teuku. (HMP)
Discussion about this post