Daily News|Jakarta – Seorang biksu Buddha di Myanmar yang dituduh menghasut kebencian terhadap etnis Rohingya, Ashin Wirathu, menyerahkan diri kepada polisi, Senin (2/11).
Dia menjadi buronan karena komentarnya dinilai menghina Pemimpin sekaligus Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Upaya untuk menangkap Wirathu telah berlangsung selama setahun.
Penyerahan diri Wirathu terjadi hanya beberapa hari sebelum pemilihan umum Myanmar pada Minggu mendatang.
“Terutama, saya ingin meminta rekan biksu saya di seluruh negeri untuk meminta pengikut mereka memilih partai yang bekerja untuk melindungi ras dan agama negara,” kata Wirathu kepada sekelompok kecil pengikut di luar kantor polisi di Yangon, seperti dilansir Associated Press, Selasa (3/11).
Wirathu dan pendukungnya berhasil melobi undang-undang yang mempersulit pernikahan beda agama, tetapi ia tidak berhasil mendukung Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer dalam pemilu 2015.
Kala itu, partai Suu Kyi, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang secara telak. NLD diprediksi kembali menang dalam pemilu tahun ini.
Permohonan banding Wirathu pada Senin kemarin dipandang sebagai dukungan lain dari USDP, partai oposisi utama di parlemen dan satu-satunya penantang NLD.
Pada Mei lalu, pengadilan menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Wirathu dan menuduhnya menghasut atas komentarnya yang menghina Suu Kyi pada rapat umum nasional, sambil membandingkan perwakilan militer di parlemen dengan Buddha.
Jika terbukti bersalah, dia bisa dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Di bawah hukum Myanmar, dia harus dicopot oleh otoritas Buddha sebelum bisa ditangkap.
Sosok Wirathu menjadi menonjol pada 2012 setelah kerusuhan mematikan pecah antara umat Buddha dan Muslim dari etnis minoritas Rohingya, di negara bagian Rakhine. Dia mendirikan organisasi nasionalis, yang sudah dibubarkan, karena dituding menghasut kekerasan terhadap umat Islam.
Muslim dari kelompok etnis dan di daerah lain juga menghadapi rasa tidak hormat dan sesekali tindak kekerasan setelah Wirathu dan pendukungnya melancarkan kampanye nasionalis mereka.
Majalah Time menyebut Wirathu sebagai “Wajah Teror Buddha” dalam laporan utama di sampulnya pada 2013.
Pandangan Wirathu dianggap radikal karena membangun prasangka negatif di kalangan masyarakat Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, terhadap Muslim Rohingya. Etnis minoritas tersebut dipandang telah berimigrasi secara ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak dari keluarga mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Pada 2017, serangan militan Rohingya di pos polisi memicu aksi penumpasan oleh tentara yang menyebabkan lebih dari 700 ribu penduduk Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh demi menyelamatkan diri.
Wirathu dituduh melakukan ujaran kebencian. Facebook menutup akunnya pada 2018, tapi dia tetap berada di media sosial lain dan memberikan pidato di seluruh negeri.
Dewan Biarawan Nasional telah melarangnya memberikan ceramah umum selama setahun, tetapi tindakan itu tidak mempan. (HMP)
Discussion about this post